Selasa, 08 April 2008

novel niunana



BEHIND
THE
SUMMER



NiuNana


“Sheryl…Sheryl…,” bisik seorang gadis.
“Hmm…ya?” sahutnya menucek mata, baru bangun tidur.
“Ayo…bangun, Sleeping Beauty!” teriak Donna menyibakkan selimut dan menarik Sheryl.
”Heyyy....?!! Donnaaaaa….”
”Ayo....! Waktunya buat seneng-seneng!” tambahnya.
Tanggal 22 Desember.
Pantai Dover, Inggris. Yang terkenal dengan pasir putihnya yang berkilau.
Tanggal di mana awal musim panas mulai, berarti juga awal liburan panjang yang setiap tahun dinanti. Terutama bagi anak-anak remaja yang sudah capek dengan kegiatan sekolah yang menumpuk.
Mentari bersinar cerah dan hangat. Angin berkesiur lembut melambaikan daun-daun palem di sekitar pantai. Juga menerpa layar-layar kapal yang merapat di dermaga. Suara air dan riak gelombang terdengar berdebur menghantam tiang kayu dermaga. Bersatu dengan suara ramai orang-orang yang bermain di pantai.
Gadis itu, Sheryl Ridley. Dan yang satunya lagi, Donna Holms. Mereka dan teman-teman SMU-nya sedang liburan di pantai untuk menghabiskan musim panas yang hampir 3 bulan. Mereka ramai-ramai ke pantai Dover.
Donna sahabat karib Sheryl. Hubungan mereka seperti kakak-adik. Soalnya sejak kecil memang sudah terbiasa bersama. Selalu melakukan hal berdua. Sekarang mereka satu SMU malahan, tapi tak sekelas. Sudah sangat jelas sifat keduannya beda. Manis, agak pendiam, dan selalu tenang adalah sifat dan sikap Sheryl. Mata birunya memancarkan ketenangan. Rambutnya yang Blondi alami selalu dibiarkan tergerai. Membuat angin dapat dengan bebas memain-mainkan rambutnya yang pirang alami. Dia gadis yang santai, tapi saat bertemu dengan orang yang cocok dengannya, dia dapat menjadi gadis yang tak terduga. Gadis yang fleksibel. Sedang Donna, gadis ceria yang hidupnya penuh dengan semangat, ide, keusilan dan hal-hal aneh. Penampilannya agak tomboi, karena sekalipun tak pernah ke sekolah memakai make up berlebih. Meski kadang hanya sedikit saja memakai lip gloss. Mending kalau lip glossnya punya sendiri, tapi sayangnya lip glossnya cuma pinjaman. Namun tak apalah, lagi pula mereka sama-sama gadis.
Sifat keduannya benar-benar berlawanan. Kalau Sheryl-nya A pasti Donna-nya Z. Mungkin itu juga yang membuat keduanya jadi cocok dan sulit dipisahkan.
“Sini, sini cepat!”Donna melambai.
Sheryl menghampiri. Di benaknya dia bisa dan selalu bisa menebak kalau Donna punya ide untuk permainan baru.
”Eh, mana yang lain?” melihat Donna sendirian di pantai.
Jari telunjuknya mengarah ke dermaga yang dipenuhi dengan kerumunan gadis. Mereka tengah bersiap naik Speedboat.
”Lho, kok nggak ikut gabung?”
”Aku punya rencana lain, nih! Yuk!” beranjak menarik Sheryl dan mengajaknya berlari.
Seharian itu, mereka main berdua. Kedua gadis itu sedang asyik main air di pantai. Basah-basahan layaknya sepasang gadis kecil yang baru sekali itu main air laut.
”Ya, makannya itu. Kita kan jadi punya kesempatan buat main air sepuasnya,” mencipratkan air laut ke arah Sheryl.
”Eh, jadi basah, nih! Donna?!!” Sheryl memalang tangannya di pinggang.

”Duhhh, capek!”
Agak lama mereka ngobrol di beranda vila setelah seharian puas main air. Jam menunjuk pukul 17.15, sebentar lagi akan ada sunset. Banyak orang yang ramai-ramai berkumpul di pantai sore itu. Tentu saja untuk melihat panorama sore dan matahari tenggelam dibalik cakrawala yang terkesan begitu lembut dan romantis.
”Kayaknya lebih enak kalau lihat dari pantai, deh,” sindir Sheryl melirik Donna, yang sepertinya tak ingin beranjak dari beranda.
”Boleh juga, tuh! Yuk!”
Awal musim panas yang melelahkan. Tapi, juga asyik dan menyenangkan bagi semua yang liburan di sana. Ramai dan penuh dengan hal-hal baru dan kadang juga aneh. Membuat mereka jadi betah untuk tinggal.
Malam terasa tenang. Ombak berdebur di pantai Dover membuat suara-suara yang membelah kesunyian. Suara jangkrik-jangkrik terdengar bersahutan mengesekkan kedua sayapnya. Dingin pun mengundang.

***

Siang yang panas, Sheryl duduk-duduk mengigit es krim cokelatnya di bawah payung pantai. Dia menunggu Donna yang baru membeli softdrink di mini market. Tak ada yang menduga kalau sesuatu akan terjadi setelah itu.
“Kok, lama banget, sih?” bingung.
Donna tak menjawab. Lalu dia duduk di samping Sheryl. Beberapa kaleng softdrink yang baru dibelinya dilempar begitu saja ke atas pasir. Dari situ Sheryl melihat kalau air muka Donna beda dengan tadi. Sedikit pucat.
”Kenapa sih, Don?” panik. ”Kamu sakit, ya? Kok, pucat gitu?”
Donna tak menyahut. Bibirnya terkatup. Wajahnya malah menunduk. Sepertinya sudah terjadi sesuatu yang tak mengenakkan hatinya.
”Don! Ada apa?”
Yang diajak bicara menghela napas panjang, lalu mulai membuka mulut meski masih agak ragu. Kelihatan jelas dari wajahnya. Dia gugup.
”Sheryl...,” merapikan rambut Sheryl.
Kebingungan membuat Sheryl jadi tak sabar. Jantungnya berdebar-debar.
“Tadi ayahku telepon…,” dijeda.
Membikin Sheryl tambah penasaran.
“Aku harus pergi, Sher,” ucapnya langsung. ”Aku dan keluargaku...nggak lama lagi harus...,” menjeda. ”Pergi ke Perancis.”
Sheryl tercekat. Melihat Donna, dan tak percaya. Tapi, dia mencoba menjaga kesadarannya agar bisa mendengar kelanjutan bicara Donna.
”Bukan, bukan nggak lama lagi, tapi besok. Besok, kami harus pergi dan mungkin selamanya akan tinggal di sana.”
”Tapi,....kenapa?” masih melihat Donna.
”Kami akan pergi,” ulangnya. ”Ayah bilang kerjaannya dipindah ke sana. Dan kayaknya lama benget sampai kami bisa pindah lagi,” ceritanya menyesal. ”Kami nggak tau bakal balik kapan.”
Seperti terputus, pita suara Sheryl tak dapat bergetar mengeluarkan suara, meski hanya satu kata saja. Lidahnya terasa kelu, kaku. Sampai saat itu dia tetap tak percaya kalau sahabat karibnya, yang dari dulu menjadi temannya, akan pergi. Pergi meninggalkannya sendiri di Inggris.
Kekecewaan memaksa keluar, ”Kamu mau pergi? Benar?!”
”Maaf? Kamu pasti juga kecewa dengan keputusan ini, kan? Aku juga! Udah aku coba yakinin ayah kalau aku pingin tinggal di sini sama kamu. Tapi,...?” lanjutnya. ”Mereka nggak mau pergi tanpa aku. Mereka nggak bisa pisah dari aku, kamu bisa ngerti?”
”Nggak!” teriak Sheryl ketus dan kesal. ”Nggak! Aku nggak ngerti dan nggak mau ngerti. Kenapa sih mereka nggak mau ngalah sama aku? Mereka tega, Don!” menutupi telinga dan memejamkan mata.
“Sher, mereka butuh aku! Nggak ada yang nemenin mereka di sana. Sebenarnya mereka juga berat pergi dari Inggris. Tapi, mau gaimana lagi? Ini demi hidup kami!”
Sheryl kaget mendengar kata Donna yang terahir. Kata-kata itu membuat Sheryl sedikit tersinggung.
“Hidup kalian? Benar, aku ternyata cuma halangin hidup kalian. Jadi, kalau gitu terserah aja deh, pergi sana!” beranjak dari hadapan Donna, lalu berlari.
”Sheryl....!!!”
Panggilan itu diacuhkan. Dia sudah terlanjur kecewa dengan Donna.
Kaki Sheryl terus melangkah cepat ke vila dan langsung menuju ke kamarnya. Pikiran dan hatinya lelah, pusing memikirkan masalah tentang Donna yang akan pergi. Sheryl berpikir kalau Donna membohonginya selama ini.
”Dia ngingkarin janjinya!” menghempaskan tubuh ke tempat tidur. ”Padahal dia kan dulu udah janji, nggak akan ninggalin aku dan akan di sini terus,” mengingat. ”Dia bohong.....!” menutupi tubuhnya dengan selimut.

Waktu terus berputar. Sore sudah datang lagi. Semua orang, seperti kemarin, berkumpul di pantai untuk melihat matahari terbenam. Donna yang sedang di pantai khawatir memikirkan Sheryl yang tak kelihatan di sana.
Donna berlari menuju vila dan langsung ke kamar sahabatnya. Dia berdiri dengan penuh ragu dan bimbang di depan pintu.
”Sheryl...Sheryl? kamu di dalam, kan?” mengetuk pintu.
Gadis yang dicari-cari sedang duduk melamun, kaget mendengar seseorang berdiri di balik pintu.
“Aku tau kok kalau kamu ada di dalam,” tebak Donna. ”Aku cuma pingin minta maaf aja sama kamu. Boleh?”
Sheryl masih tak mau membuka pintu. Tapi, sekarang dia duduk bersandar di balik pintu yang terkunci dari dalam. Mendengar omongan Donna.
”Maafin aku, ya? Aku nggak bisa nepatin janji kita dulu,” ceritanya, seperti tahu isi hati Sheryl yang sedang dirasakan. ”Kamu pasti kecewa banget,” masih terdengar tawa sedih Donna. ”Oh ya, kenapa sih aku ini? Udah pasti kamu marah, ya? Ngapain harus ngomong hal yang lagi kamu rasain. Bodoh!”
Di dalam, Sheryl duduk memeluk kedua lututnya erat. Kata-kata sahabatnya masih terdengar, meski kedua tangannya sudah menutup telinganya.
”Aku nggak bisa batalin, Sher. Aku harus ikut mereka ke Paris. Soalnya udah keputusan keluargaku.”
Omongn Donna yang terahir kedengaran menyakitkan, meski dengan nada penuh kesabaran. Kedua tangannya terus rapat menutupi telinga. Sampai tak terasa setetes air jatuh dari kelopak mata yang terus dipejamkan.
”Aku harus nerima semuanya, Sher. Aku nggak bisa ngelak. Keluargaku butuh aku, mereka nggak bisa pisah dari aku dan begitu juga aku. Kamu ngerti, kan?”
”Jadi, maafin aku. Soalnya mau gimana lagi, semuanya harus aku jalanin. Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Aku tetap harus pergi.”
Hati Sheryl layaknya, tidak! Tapi, sungguh diliputi awan mendung. Awan yang siap memuntahkan air yang sangat berat ditahan. Sampai ahirnya butir-butir cairan bening di sisi matanya jatuh menetes tak terkendali. Tangisnya tak bersuara, tapi malah terasa sangat sakit dan perih.
”Aku ke bandara besok pagi-pagi, kamu nggak usah ngantar, ya?” pintanya. ”Hmm..., oh iya, aku lupa lagi, nih! Nggak mungkin kamu mau ngantarin aku. Jadi, kenapa aku harus repot-repot larang kamu gitu, ya?”
Sheryl mulai menangis.
”Ya, udah aku balik ke kamar dulu, ya?” Donna beranjak dari depan pintu. ”Daaa....!”
Langkah kaki Donna bergetar menghentak lantai dan tangga vila.
Ucapan salam perpisahan itu sudah lebih dari cukup membuat segenap hati Sheryl hancur dan remuk. Tangisnya tak dapat dibendung lagi, berderai tak terkontrol di petang terahir mendengar suara Donna.

Semalaman, mata sayu Sheryl tak bisa terpejam walau sedikit. Capek memikirkan semua yang harus terjadi di dirinya. Merasa kalau Tuhan tak adil memutuskan takdir. Takdir yang sangat berat untuk gadis 16 tahun sepertinya. Yang harus ditinggal oleh semua orang yang disayangi.
”Tuhan nggak adil! Kenapa setiap orang yang aku sayangi harus pergi satu-satu, ninggalin aku, sih? Tuhan nggak adil!!” menggerutu, menyalah-nyalahkan Tuhan sampai lelah.

***

Entah sudah berapa kata yang dia pakai semalaman itu, untuk menyalahkan Tuhan. Berpuluh. Beratus. Beribu. Tak bisa dihitung.
Pagi itu jam dinding masih menunjuk pukul 05.30. suasana di luar sunyi, sepi, dan cukup dingin dengan embun-embun yang membayang di kaca jendela vila. Sheryl masih duduk melamun di sofa sejak kemarin sore. Dia tak beranjak dari sana.
Semenit kemudian terdengar lagi suara langkah kaki dan roda-roda tas koper yang berderit menuju ke kamarnya, dan berhenti begitu saja di depan pintu.
“Sheryl? Kamu masih tidur, ya?” tanpa perlu mengetuk pintu.
Tak ada jawaban atau isyarat suara dari dalam, meski sebenarnya Sheryl dengan jelas dapat mendengar semua yang Donna katakan dari luar kamar.
“Maaf, kalau aku nganggu tidur kamu sekarang. Aku cuma pingin pamitan, aku mau berangkat sekarang.”
Cairan bening itu lagi-lagi menetes.
“Makasih, ya? Soalnya selama ini udah mau bantu aku macam-macam. Aku jadi sering repotin kamu,” tertawa lirih. ”Pinjam novel pas kamu nggak tahu. Pinjam lip gloss untuk aku pakai waktu akan ke sekolah. Tapi, ini udah aku siapin dari semalam.”
Masih tak terdengar suara apapun dari dalam. Sheryl masih duduk mematung mendengar semua kata-kata dari bibir Donna yang menyakitinya itu. Dari luar Donna terdengar seperti meletakkan sesuatu di lantai.
“Sheryl? Sher..…,” mulai mengetuk pintu. “Kayaknya udah waktunya aku pergi. Ijinin aku pamitan sama sahabatku buat yang terahir, ya? Tolong!”
Gadis yang mendengarnya semakin tak dapat menahan derai air matanya. Inginnya, dia segera beranjak dari sofa, berjalan ke arah pintu, membukannya, dan kemudian memeluk sahabatnya erat-erat. Atau mengatakan salam perpisahan yang sebenarnya kini tengah berjubel di hatinya. Namun, semuanya sulit untuk terlaksana. Kekecewaannya ternyata lebih kuat untuk mengalahkan keinginanya. Dia masih berdiri dengan tangan yang hampir menyentuh gagang pintu.
Donna terdenagar menghela napas berat, “Ya, udah deh, nggak apa-apa. Kalau gitu, sampai jumpa.”
Suara langkah kaki terdengar kembali. Namun, menjauh lalu menuruni tangga ruang tengah vila. Sampai suasana dalam gedung yang tak terlalu besar ,namun cukup untuk ditempati semua remaja-remaja itu sepi kembali. Sedikitpun tak ada suara jejak langkah dan derik roda-roda koper lagi. Sepi. Kemana?
”Don...!”
Sheryl tersadar dari semuanya, buru-buru dia memutar kunci pintu. Karena gugup, sampai memakan waktu lama untuk terbuka. Dia mendapati beberapa novelnya tertumpuk rapi di depan pintu. Tak sengaja dia menyenggolnya. Sebuah lip gloss mengelinding ke arah tangga dan hampir jatuh ke bawah.
”Don, Donna...!” pangilnya, mencari-cari.
Dia membawa novel dan juga lip gloss miliknya yang kemarin-kemarin dipinjam Donna.
Donna sudah tak ada di ruang tengah. Dengan napas sesak, Sheryl kemudian lari ke keluar vila untuk mengejar Donna yang mungkin masih ada di sekitar situ. Namun, di pantai pun dia sudah tak ada. Segera Sheryl berlari ke halte bus.
“Donna….tungguin aku!”
Gadis itu tiba-tiba berhenti tak jauh dari tujuannya. Dia melihat seorang gadis dengan tas ransel yang diletakkan di samping kakinya. Duduk menanti bus yang mungkin akan lewat dan membawanya pergi jauh.
”Donna....!” setelah yakin siapa yang dilihatnya.
Orang yang dipanggil berpaling. Berdiri dan tersenyum melihatnya. Sheryl berlari menghampirinya. Napasnya terasa hampir putus. Tanpa menunggu apapun, dia langsung meraih bahu sahabatnya dan memeluknya erat.
“Aku nggak mau kamu pergi, tinggal di sini aja. Tolong?” pinta Sheryl memohon dengan napas yang masih belum teratur.
Donna melepas pelukan sahabatnya.
“Kamu nggak akan sendirian di sini, kok. Mungkin saat aku pergi, kamu bakal dapat teman baru yang baik dan cocok sama kamu lagi.”
”Nggak, Don. Aku cuma pingin sama kamu!”
”Jangan gitu dong. Hey? Kamu kok malah kayak anak-anak, sih? Egois!” guraunya. ”Tapi, ngomong-ngomong kenapa kamu ngikutin aku sampai sini?” tanyanya penasaran. ”Sampai nggak pakai sendal, lagi.”
Sheryl sadar. Kakinya baru terasa perih menginjak aspal yang kasar.
”Oh iya, ya? Kamu bangunin aku, sih. Jadi, aku ke sini, deh.”
”Oh, aku pikir kamu mau tidur seharian kayak Sleeping Beauty,” mengejek seperti biasa.
Sheryl tersenyum dan mengajak duduk kembali di halte.
“Jadi, keputusanmu udah benar-benar bulat, ya?” mengulang lagi, untuk mendapat kepastian yang jelas. ”Nggak apa-apa deh, aku pikir memang harus kamu lakuin. Lagian siapa sih yang mau lama-lama nggak ketemu orang tua?”
Donna terdiam.
Sementara bus yang telah lama-lama ditunggu pun berhenti, merapat ke tepi jalan. Keduanya tahu kalau sudah waktunya untuk berpisah dan Donna pun harus segera berangkat agar tak ketinggalan pesawat.
”Sepertinya udah waktunya pergi, nih.”
Sheryl mengajak Donna berdiri.
”Ayo cepat sana masuk! Jangan sampai kamu telat naik pesawat, lho.”
Donna masih berdiri di samping Sheryl. Dia malah melihat sahabatnya aneh. Matanya memancarkan rasa tak tega.
“Kenapa? Ayo cepat sana!” merasa salah tingkah bila dilihat seperti itu terus.
“Oh, iya, sebelumnya…,” melepas sesuatu yang dipakai Donna dari tangannya, “Ini buat kamu.” memakaikan sebuah gelang ke tangan kiri Sheryl.
”Tapi, ini kan gelang favorit kamu....” mencoba melepasnya kembali tapi, ditahan Donna. ”Nggak mau ah......”
”Eh, nggak boleh nolak! Kalau nolak berarti nggak sayang sama aku, tuh!” Donna mengancam.
Sopir bus yang sudah tak sabar, menekan klaksonya berulang-ulang. Lalu mendehem-dehem pelan.
“Iya, iya, bentar, ah!” sahut Donna sebal.
”Ayo masuk!” pinta Sheryl. ”Tapi, sebelumnya....ini,” meletakkan novel dan lip gloss Sheryl tadi ke tangan Donna.
”Kenapa kamu kasih ke aku?”
”Sudah deh ambil aja, aku udah hafal jalan ceritanya, kok. Sekalian buat kenang-kenangan. Atau kalau nggak nerima, berarti nggak sayang, dong.”
Mata Sheryl dilemparkan ke arah lain, sembari menanti jawaban Donna. Senyu masam mengembang di bibir Donna.
”Sampai jumpa, jangan lupain aku, lho? Jaga dirimu baik-baik!” pinta Sheryl.
“Kamu juga, ya?” balas Sheryl. “Byeeee…!”
Bus mulai berjalan. Donna melambaikan tangannya ke luar jandela dan kembali mengucap salam perpisahan.
“Jaga dirimu baik-baik, jangan lupa hubungin aku!” pinta Sheryl lagi.
Donna mengacungkan jempol ke luar jendela. Sheryl tersenyum melihat tingkah terahir sahabatnya.
Kini bus telah menghilang di balik tikungan. Dan Donna pun sudah pasti akan melewati perjalanan jauh menuju rumahnya yang baru.
”Berahir dengan baik, deh,” tersenyum dan berbalik pergi. “Aku ikhlas kok dia pergi.”
Santai, Sheryl berjalan kembali ke vila. Lalu tiba-tiba kakinya terasa sakit karena tak sempat memakai sendal.
”Aduuhhh!” sembari memandangi gelang pemberian Donna.

***

Seminggu lebih Donna pergi. Meninggalkan Sheryl sendiri. Semuanya jadi sangat membosankan. Selancar, Jet ski, ski air, voli pantai, berenang dan lainnya, menjadi hampa bagi Sheryl.
Hampir tiap hari Sheryl hanya duduk-duduk di pantai tanpa bermain. Kalau tidak membaca buku, mungkin mendengarkan musik, atau kalau tidak hanya melihat-lihat pemandangan sekitar yang tak berubah. Air, pasir, langit biru, sinar matahari dan orang-orang. Semuanya utuh. Atau kadang-kadang cuma jalan-jalan saja sendirian. Padahal teman-teman sebayanyanya ada di sana. Tapi, baginya, tiada yang lain selain Donna, titik.
”Nggak ada hal baru, nih! Bikin capek aja.”
Sudah tengah hari. Matahari masih duduk di singgasana siang, memancarkan panas badannya. Sheryl masih mencoba menikmati liburan sepinya dengan berbagai cara yang ia sukai tanpa Donna.
Hari ini dia memutuskan untuk jalan-jalan ke pantai. Meski hanya sendirian saja, dia tetap mencoba meknikmati liburan yang baru saja dimulai. Kalau sisa liburan itu hanya dihabiskan untuk bersungut-sungut saja kan sayang.
”Hmmm....aku baru sadar, nggak penting banget nyeselin kepergian orang,” sembari menghirup udara di tepi pantai. ”Udah jam 11.33, masih panas, nih”
Lalu dia duduk di pepasiran tak jauh dari segerombolan anak muda bermain voli pantai. Dia duduk bersila meniru gerakan dalam Yoga, mencoba bersantai menikmati sekitarnya. Perhatiannya tertuju ke pertandingan voli yang sepertinya ramai dan seru.
”Haus,” menarik penutup kaleng.
Segera dia meneguk setengah isi soda dingin, untuk menyegarkan kembali tenggorokannya yang kering. Terasa dingin dan menyegarkan. Sedangkan pandangannya masih bertualang ke setiap penjuru pantai.
”Hahhhh....,” menghela napas, puas.
Keasyikan mengamati pemandangan ke arah laut, sampai-sampai dia tak melihat kalau sesuatu melambung ke arahnya. Dan tiba-tiba....
”Hey! Aduhh, hati-hati, dong!” tergesa-gesa berdiri karena tubuh dan bajunya tersiram air soda.
Sebuah bola voli terlempar dan mengenai tangannya. Sheryl mengusap-usap tangannya yang kotor dan bajunya yang terkena pasir. Sebal.
”Kalian bisa hati-hati nggak mainnya?!”
Sementara dari tadi seseorang sudah berdiri meminta maaf di depannya. Tapi, Sheryl malah sibuk sendiri.
”Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya panik. ”Maaf, deh, kami nggak sengaja.”
Sheryl baru memperhatikan orang yang berdiri di depannya, karena panik sendiri membersihkan air soda yang tumpah karena lemparan bola voli. Kulitnya jadi lengket.
”Kami minta maaf,” katanya terlihat sungguh-sungguh. ”Maafin, ya?”
”Okelah, nggak apa-apa. Tapi, lain kali bisa hati-hati sedikit nggak mainnya?”
Secepatnya pemuda itu mengambil bola yang teronggok di dekat kaki Sheryl. Dan berlari kembali ke arah kerumunan teman-temannya. Sejenak dia berbalik melihat Sheryl yang masih sibuk sendiri. Dia tersenyum menyesal.
Sheryl hanya mengangguk. Lalu dia berjalan kembali ke vila untuk mengganti pakaiannya yang kotor. Namun, sebelum melangkah memijakkan kakinya sekali lagi, ada sesuatu yang sepertinya terasa terinjak. Sheryl diam, setelah sebelumnya kaget. Sejenak Sheryl pikir itu cuma kerang yang tak sengaja terinjak.
Dia mengangkat kaki dari pasir pantai Dover yang terkenal putih mengkilap.
Duduk berjongkok mengamati benda yang diinjaknya. Dan kemudian memungut dan membersihkannya dengan hati-hati.
“Gelang? Punya siapa, nih?” masih mengamati, ”Apa milik cowok tadi?” berpikir sejenak dan melihat sekerumunan pemuda.
Sayangnya pemuda yang minta maaf padanya tadi, tak ada di sana.
”Baiknya aku simpan dulu, deh. Mungkin kapan-kapan bisa ketemu lagi. Lalu aku balikin nih gelang,” memakainya di tangan kiri, bergabung dengan gelang Donna.

”Ramai,” mendorong pintu kaca café.
Banyak orang yang ada di café siang itu. Kebetulan sudah waktunya makan siang. Sheryl yang sudah berganti pakaian memutuskan untuk makan siang juga.
Matanya berkeliling mencari meja kosong. padahal sudah diarahkan ke semua sisi. Penuh.
”Untung aja ada meja kosong,” menarik kursi dari meja yang tersisa.
Pemandangan pantai dari sana kelihatan indah. Tampak jelas seluruh air laut yang membiru dengan orang-orang yang bermain di sana. Juga terlihat buih-buih air yang seperti berlomba sampai ke pantai.
“Permisi, nona?” seseorang membuyarkan lamunnya.
”Eh, I..iya, iya?”
”Ini pesanan anda,” menyodorkan segelas jus melon dengan busa-busa lembut di atasnya. Juga beberapa potong sandwich kesukaannya.
”Makasih.”
Pelan Sheryl menyerusup jus dingin dengan sedotan. Nikmat rasanya siang yang panas-panas seperti itu minum jus. Setelah itu, Sheryl kembali melamun memandangi pantai.
”Hmmm....nyummyyy....”
”Maaf, ini kursi kosong?” seseorang menganggu acara minum jusnya.
Berpaling karena sebal.
”Lho, kamu lagi?” sahut orang itu.
Sheryl juga kaget melihat pemuda yang tadi pagi minta maaf padanya. Sheryl hanya tersenyum keheranan. Dunia memang tak seluas yang di bayangkan. Apalagi hanya di bagian kecil pantai itu.
”Eh, Hai juga!” balasnya.
”Aku boleh nggak duduk di sini?” pintanya, ”Soalnya nggak ada meja kosong.”
Bahasanya lebih mirip seperti rayuan gombal.
Sejenak, Sheryl melihat sekelilingnya, berharap masih ada meja kosong untuk pemuda itu. Soalnya Sheryl sedang ingin duduk sendirian saja dan menikmati sisa jus melonnya yang tinggal setengah saat itu. Sayang semuanya sudah penuh.
”Oke, deh, silakan,” menerima, meskipun sedikit terpaksa. Apalagi dia seorang yang belum dikenalnya. Pemuda, lagi.
Orang asing itu menarik kursi dan duduk. Dan tanpa bicara apa-apa pada Sheryl lagi, dia langsung melahap makan siangnya. Sedikitpun tak menganggap orang di depannya.
Pemuda itu dingin dan acuh sekali.
”Ada apa, sih?” tanyanya heran melihat Sheryl yang sejak tadi mengamatinya.
Sikap Sheryl jadi salah tingkah. Wajahnya sedikit memerah. Namun, sepertinya berhasil di sembunyikan di balik rambut panjangnya. Lalu Sheryl hanya tersenyum dan mulai makan makan siangnya. Padahal Sheryl kan cuma meruntuki sikapnya dingin manusia di depannya.
Tiba-tiba pemuda dingin itu menghentikan makannya dan memperhatikan Sheryl, ”Ngomong-ngomong maaf sama insiden tadi pagi, lho?”
”Nggak apa-apa,” singkat, lalu dengan tenang kembali makan.
”Dari tadi kita belum kenalan, kan?” mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan. ”Aku Ralph Collin. Panggil aja Ralph. Kamu?”
Sheryl membalas jabatan tangannya, ”Sheryl Ridley.”
Suara Sheryl dibuat-buat agar terdengar ketus.
“Oh, Sheryl. Kamu siswi SMU-ku bukan?” menyebut nama sekolah mereka.
Sheryl mengangguk, ”kelas 3-2.”
”Aku 3-4.”
Beberapa menit mereka ngobrol bersama.
Pemuda itu bisa dibilang cukup cakep. Meski agak dingin. Tapi, sepertinya kalau baru kenal atau baru melihatnya sekali saja. Juga terlihat agak acuh dengan orang lain. Punya bakat untuk membuat lawan bicaranya kesal. Tapi, kalau sudah agak lama ngobrol dengannya, sikap aslinya mulai muncul. Matanya coklat jernih dan terkesan dingin. Terahir ketika bertemu, berpenampilan cool dan santai. Berperawakan rata-rata seperti anak-anak muda pada umumnya. Hmmm, umurnya kira-kira setara dengan Sheryl. Atau kalau tidak lebih setahun.
”Tinggal nunggu pengumuman, nih.”
Mereka bicara tentang ujian ahir yang sudah lewat. Padahal kan waktunya untuk libur. Setelah sedikit Ralph bercerita, senyuman meremehkan mengembang di wajah Sheryl.
Ralph tertawa, “Kamu nertawain aku, ya? Soalnya kamu kan bisa. Kalau aku sih nggak, jadi sulit banget.”
Sheryl mencoba menyembunyikan tawanya. Dia sedikit malu.
Ternyata, sikapnya tak sedingin luarnya. Terbukti, kan?!
“Ralph? Ke mana aja sih kamu?”
Gadis itu memperhatikan Sheryl yang duduk di depan Ralph. Seperti memperhatikan orang asing saja. Oh iya, Sheryl memang asing baginya, soalnya mereka belum kenalan.
“Hai….,” sapa gadis itu ramah.
Dengan senyuman Sheryl membalasnya.
Ralph tersenyum kecil, “Oh, iya kenalin ini Jannet sahabatku, dan Jannet ini Sheryl teman baruku.”
Kedua gadis itu berjabat tangan.
“Maaf Sheryl, boleh pinjem Ralph bentar, nggak?” pinta Jannet dengan suara yang sepertinya menyindir.
Senyuman sungkan dan canggung tersirat di wajah Sheryl. Memang apa hubungan Sheryl dengannya, sampai harus meminta izin bertemu segala.
Ralph dan Jannet ngobrol agak lama.
“Kalau gitu ambil aja di beranda vila, sana!” kata Ralph ahirnya.
Jannet menyahut lagi, ”Bukannya dibawa Dennis?”
Hanya itu pembicaraan yang Sheryl dengar terahir. Sisanya entah apalagi. Sheryl tak tahu yang mereka bicarakan dan tak mau tahu. Sheryl memang bukan tipe orang yang ingin tahu urusan orang lain. Tapi, kalau hal itu sungguh-sungguh membuatnya penasaran, dia pasti mengejar sampai jawaban yang diinginkannya didapat.
“Maaf ya? Nunggu lama.”
Jannet berpamitan pada Sheryl dan Ralph.
Sheryl memperhatikan Jannet pergi. Sekilas Jannet tersenyum. Ada sesuatu yang tak mengenakkan yang terbaca dari senyum Jannet barusan. Membuat Sheryl jadi aneh. Dan canggung.
Gadis itu mengamati jam dinding di café. Jarum jam sudah jauh melebihi angka tiga.
Mereka berpisah di tempat itu, setelah Sheryl memberi alasan untuk pergi.
***

“Duh, panasnya…,” Sheryl mengipas-ngipas tubuhnya dengan majalah.
Matahari bersinar terik. Hawanya terasa sangat panas. Maklum saat itu kan musim panas. Meski Sheryl sudah bertopi dan memakai sun block untuk menghidari kulitnya yang terbakar, tetap saja dia masih takut untuk main-main air di bawah sinar matahari.
”Hai, kayaknya lagi kepanasan, ya?” tanya seseorang tiba-tiba.
Entah bermaksud menggoda atau memang dia tak tahu yang Sheryl rasakan saat itu. Pertanyaan yang menurutnya bodoh itu, terlontar begitu saja.
Lalu Ralph duduk di samping Sheryl.
“Nggak nyangka kita ketemu lagi di sini. Dunia sempit banget.”
”Hmm, nggak juga kok..., aku sengaja ke sini buat ketemu kamu.”
Sheryl kelihatan penasaran dan wajahnya sedikit bersemu merah. Jadi, salah tingkah dicari-cari pemuda cakep seperti Ralph.
“Cuma mau ngobrol aja sama kamu, nggak ada yang lain, kok benar!” jarinya membentuk huruf V sembari terus meyakinkan.
Sheryl tambah keheranan dengan sikap Ralph sekarang. Ceria, humoris, dan sok tahu. Tak seperti kemarin yang cuek, pendiam, dan dingin. Ya, ampun apa yang terjadi?
Ralph tersenyum kecil, sampai lesung pipinya terlihat di sebelah kiri.
“Di mana Jannet?” mengalihkan topik pembicaraan, “Kenapa nggak sama kamu?”
”Itu, main sama temen-temennya,” agak terpaksa bicara. ”Di sana tuh, main Jet ski,” menunjuk laut.
Sheryl melihat perubahan sikapnya. Sepertinya kelihatan bosan dan malas-malasan kalau membahas Jannet.
”Memang kamu bukan temennya, tuh?” goda Sheryl membalas. “Kenapa nggak diajak ke sini, aku pingin kenal lebih dekat, nih.”
”Dia keasyikan main, kalau udah gitu dia nggak bisa diganggu. Kapan-kapan aja kalau dia nggak keasyikan main, ya?” Ralph bicara tanpa memandang Sheryl.
”Wah, sayang juga, nih!”
Meski belum lama kenalan, mereka kelihatan sudah akrab. Terdengar dari pembicaraan dan canda mereka. Tertawa-tawa bersama seperti tak berpikir kalau mereka baru bertemu kemarin.
Mata mereka menuju titik masing-masing, sampai tiba-tiba tangan kiri Sheryl melambai ke arah lain. Refleks Ralph melirik gerakan tangan Sheryl yang tiba-tiba. Dan tak sengaja melihat sekilas gelang yang dipakai Sheryl. Membuatnya tampak ragu dengan pengelihatannya sendiri.
”Aaaa….Sher?” menganggu Sheryl yang sedang melihat-lihat.
“Aku sepertinya pernah lihat gelang itu, deh” menunjuk.
Gelang dari bahan elastis berwarna hitam dengan tulisan kata Trustfriend warna pink, melingkar di tangan Sheryl. Gelang yang kelihatan cadas, tapi saat dilihat tulisan pinknya terkesan perempuan banget.
“Oh, ya ampun…!” menyahut, terlupa. Segera dia melepas benda itu dari tangannya. ”Ini punya kamu? Kemarin waktu kamu ngambil bola, mungkin gelang ini jatuh, jadi kuambil aja,” menceritakan.
”Aku kemarin memang kehilangan gelang.”
Tersenyum masam dan menyodorkannya ke Ralph, ”Maafin, ya? Kemarin aku lupa ngembaliin sama kamu.”
”Untung aja kamu temuin, kalau nggak sayang sekali, nih. Thanks, ya”
Ekspresi wajah Ralph berubah saat bicara tentang gelang itu. Ralph lalu bicara sesuatu.
“Ini gelang kesayanganku, lho.”
Tak tahu kenapa dia tiba-tiba cerita tentang gelangnya. Tapi, setelah Ralph bicara seperti itu, keingintahuan Sheryl mulai menyeruak keluar.
”Waktu beli ini aku sampai bertengkar sama nenek-nenek yang pinginin ini juga. Sejenak aku mikir, kenapa nenek-nenek beli gelang anak muda kayak gini? Terus katanya buat orang yang spesial,” berceloteh asyik. ”Aku ya nggak percaya aja. Lalu biar akau dapat gelang ini, aku ceritain juga nenek itu cerita bohong. Ahirnya, aku dapatin nih gelang ini,” sembari tertawa lepas.
Sheryl jadi kecewa. Padahal yang Sheryl harapkan adalah cerita melankolis, yang membikin haru. Dia pikir gelang itu didapat dari seorang yang spesial di hidup Ralph atau hal yang mengharukan lain. Tapi, ternyata hanya didapat dari hasil pertengkaran dengan seorang nenek-nenek.
”Maafin, ya? Kemarin aku lupa balikin gelangmu,” Sheryl berpaling melihat yang lain.
“Ini buat kamu aja, deh,” menarik tangan Sheryl dan menaruh gelangnya.
”Ehh...? Tapi,...ini kan, gelang kesayangan kamu, yang kamu dapat dengan susah payah. Dibela-belain sampai bohong sama nenek-nenek, lagi. Aku....”
Ralph sudah bangkit dari duduknya.
“Nggak apa kok, ambil aja. Kelihatannya cocok banget waktu kamu pakai.”
“Tapi, kenapa kamu kasih ke aku?” tanyanya tak mengerti.
”Anggap itu hadiah dariku, dari teman baru, deh,” berlari pergi.
”Hey, kamu….?” ingin mengejar Ralph namun, dia telah jauh berlari.

Tetesan air menciprat ke mana-mana. Di dermaga Sheryl sedang duduk-duduk melamun sendirian. Kedua kakinya dicelupkannya ke air laut yang sedikit mendinginkan tubuhnya yang gerah. Perhatiannya ke langit biru cerah yang menyilaukan mata.
“Apa maksudnya kasih aku ini, ya?” mengamati. “Kami kan baru kenal sehari,” terus berpikir. ”Lho! Kenapa harus mikirin orang aneh itu? Sudah ah, mungkin memang dia pingin beri ini. Aku berlebihan banget, deh.”
Kini gelang pemberian Ralph melingkar di tangan kiri Sheryl bersama dengan gelang Donna. Dia menghargai pemberian itu meski hanya dari teman yang baru dikenalnya kemarin.
”Jadi ingat Donna, nih. Lagi ngapain ya dia? Dasar! Kenapa nggak ngabarin aku?” kesahnya, kini memainkan air dengan kedua tangannya.
Semua pertanyaannya takkan terjawab kalau salah satu dari mereka tak mengabari lebih dulu. Itu yang membuat Sheryl malas. Donna harus diajak bicara lebih dulu, baru mau membuka mulut. Harus dipaksa dahulu baru menyerahkan diri, kiasnya.
”Pasti keasyikan liburan sampai nggak punya waktu.”
Ide bagus muncul dari benaknya. Buru-buru Sheryl berlari kembali ke vila, menuju kamarnya, dan mengambil laptop di meja sudut ruangan. Duduk di ranjang. Dan mulai membuka-buka internet.
”E-mail! Lagian kalau ngirim surat lewat pos, Donna nggak akan bisa bales. Dia memang nggak ahli merangkai kata-kata. Lagian kalau telepon kan mahal juga,” berinisiatif.

Beberapa teman-temannya menghampiri, saat dia duduk di beranda vila memutar Discman. Mereka mengajak selancar. Kebetulan ombak saat itu besar dan bagus untuk main.
”Ayo, mau ikut nggak!” mendesak.
”Bentar aku ambil alat-alatku dulu,” berlari menuju kamar.
Saat keluar, Sheryl sudah memakai pakaian khusus selancar dan menenteng papan miliknya.
Sebelumnya, jangan coba-coba meremehkan teknik gadis itu. Meski kelihatanya dia gadis lugu, tapi, dia lihai dan terampil memainkan papannya di ombak. Bahkan bisa memakai teknik sulit dalam selancar. Itu karena sejak kecil dia sudah biasa main, dan juga karena dari dulu itu memang hobinya.

”Lihat dia beraksi, yuk!” meledek salah satu teman yang belum bisa.
Mereka semua tertawa bersamaan, bahkan yang diremehkan sekali juga. Sheryl cuma mengikuti obrolan mereka.
”Kamu lihat nggak? Dia aja belum bisa nyeimbangin tubuh sendiri di papan,” tambah yang lain.
”Lebih baik dari pada habisin tiga papan selancar, padahal baru 2 minggu liburan!” balasnya ketus.
Sheryl yang berjalan mengikuti mereka hanya tertawa lirih, mendengar pertengkaran kedua gadis dewasa yang masih kekanak-kanakan.

***

Sheryl sedang malas mengikuti teman-temannya. Katanya mau main ke café di luar area pantai. Dia lebih senang baca novel dari pada ikut ngrumpi hal-hal yang kurang penting.
”Enakan baca novelnya di sini aja,” duduk di kursi santai dekat dermaga.
Malam itu penampilan Sheryl beda dari biasanya. Rambut yang biasa digerai, entah kenapa kini diikat. Lalu pakai kacamata minus tipis. Sheryl memang jarang memakai kecamatanya kalau tidak sedang membaca. Mengesankan Sheryl seperti gadis super jenius.
”Pasti lagi makan sama ngrumpi, deh.”
Satu per satu halaman novel telah rampung dibaca. Sampai dia merasa matanya cukup capek menghadapi rentetan huruf, kata, kalimat, dan paragraf. Dia melepas kacamatanya dan mengucek-ucek pelan salah satu yang terasa sakit. Lalu mengusap gelas kacamatanya dengan ujung baju.
”Jalan-jalan.”
Dia berjalan di lantai dermaga yang terbuat dari susunan kayu yang kuat. Udaranya juga dingin sekali. Sampai memaksa Sheryl beberapa kali merapatkan jaket, yang sudah berhasil ditembus hawa dingin malam itu.
Seseorang duduk di tepian dermaga. Entah siapa, tapi, Sheryl tetap berjalan ke arah tempat itu. Mungkin dia seorang teman.
Orang itu berpaling, ”Ngapain? Kok, lama banget?”
Ternyata Jannet yang duduk di sana. Dia bingung dan mengerutkan dahi melihat siapa yang datang. Awalnya dia pikir yang datang salah satu temannya, yang tadi pergi sebentar dan berjanji akan kembali lagi.
“Hai, Jannet? Kok sendirian?”
“Eh, siapa, ya?” mencoba mengingat sembari ragu memperhatikan.
Mungkin di benaknya berputar wajah-wajah gadis yang ahir-ahir itu ditemuinya di pantai, ”Siapa, sih?”
“Ini aku!” ulang Sheryl. “Oops, maaf?” membuka kacamatanya.
Jannet tersenyum, “Eh, kamu? Aku pikir siapa? Beda banget dari yang kemarin,” katanya tertawa lebar.
Jannet Hamlyn, gadis ceria. Rambutnya coklat dipotong model pendek. Kelihatan seperti pemuda. Pertama kali melihat, pasti semua orang akan mengira kalau dia pemuda. Dari penampilannya pasti dia gadis tegar, keras, tapi menyenangkan. Gampang bergaul dan mungkin punya banyak teman.
”Ngomong-ngomong gimana sih kamu kenal Ralph?” mulai mengajak ngobrol.
“Hmm?” mengingat kisah lalu. ”Aku kena lemparan bola waktu sekumpulan cowok lagi main voli.”
”Haahh, dia memang ceroboh,” ejeknya.
”Aku nggak tau sih yang nglempar siapa. Tapi, yang pasti dia datang ke aku lalu minta maaf.”
Terbesit sesal di wajah Jannet, tapi, disembuyikan di balik tewanya.
”Kamu sahabat dekatnya, ya?” tanya Sheryl tersenyum ingin tahu. ”Udah lama jadi sahabat?”
Jannet berpikir, mencoba mengingat-ingat tepatnya. Agak lama juga mengingatnya. Dan hanya menghasilkan angka yang tak pasti, ”Hmm, kayaknya sekitar 7 tahunan, deh. Aku tetangga barunya, juga teman sekelas.” Jannet penasaran dengan komentar Sheryl. ”Menurut kamu dia orangnya gimana, sih?”
”Dia agak dingin dan acuh deh kayaknya,” jujur. “Tapi, menurut aku itu karena baru kenal pertama kali. Tapi....”
”Benar, dia memang kayak gitu. Ya, itu memang sifat aslinya,” mendefinisikan sahabatnya.
”Tapi, menurut aku dia asyik juga, kok. Soalnya kemarin tiba-tiba aja sikapnya jadi asyik.”
Jannet tertawa renyah, ”Jadi, asyik? Mungkin....”
Jannet melihat gelang yang di tangan Sheryl. Seperti gelang yang biasa dipakai Ralph. Seperti gelang yang pernah diceritakan Ralph kalau gelang itu kesayangannya. Gelang yang setiap hari selalu Ralph pakai. Sampai pernah dia menolak tak ingin memberikannya pada orang lain. Bahkan pada Jannet sekalipun.
”Lho, ada apa?”
”Emm, Itu bukannya....,” bermaksud ingin menunjuk, tapi, diurungkannya.
Sikap Jannet berubah begitu saja setelah itu. Sheryl agak bingung dengan perubahan Jannet. Kenapa sikap orang-orang jadi aneh dan berubah secepat itu kalau bersamanya.
“Aku pergi dulu, ya? Kapan-kapan ngobrol lagi,” tersenyum. ”Aku lupa kalau punya janji sama temen. Sampai jumpa,” beranjak dan langsung pergi.
Sheryl masih dibuat pusing dan bingung karena sikap semua orang. Sikap Jannet barusan, sepertinya kaget dan gugup.
”Kenapa buru-buru,? Memangnya ada yang salah sama aku, ya?” melihat dirinya sendiri dan berpikir aneh.

***

Sebelum jam sarapan, Ralph dan Jannet duduk-duduk di beranda vila. Karena saat itu masih terlalu pagi untuk main di pantai, mereka memutuskan untuk main dulu di beranda vila.
Ralph duduk menghadap sebuah meja. Di sana ada bidak catur yang sudah dimainkan. Dia duduk berhadapan dengan lawannya.
Jannet, duduk di kiri Ralph. Dia sedang ngemil. Jannet sengaja duduk di sana, untuk melihat apa benar gelang yang dipakai Sheryl adalah gelang punya Ralph atau hanya kebetulan saja gelang itu sama.
“Gelangmu mana Ralph? Kok nggak dipakai?”
“Apa? Geee…,gelang?” kaget dan berpaling melihat Jannet.
Sementara lawan mainnya, menggeser pion Ralph tanpa diketahui si empunya.
Mengulang, “Iya, gelangmu mana, tuh? Kok udah lama nggak kelihatan.”
Ralph bingung harus berkata apa. Soalnya gelang sudah diberikan pada Sheryl. Ingin bohong tapi, tak enak. Harus ngomong apa? Masa harus jujur!
“Gelangku….ituu….”
“Eh, bentar, tadi malam aku ngobrol sama Sheryl, lho,” pancing Jannet. “Dan benar apa nggak, ya? Kayaknya sekilas aku lihat dia pakai gelang persis kayak gelang kamu.”
Ralph gugup, “Eh, nggak tahu, ya? Gelangku aku simpan di kamar, kok. Mungkin cuma sama aja dengan punya dia,” beralasan.
Dasar! Namanya orang yang tak biasa bohong, berkata gugup saja pasti sudah ketahuan.
Lalu, di saat yang sama, seseorang memanggil-manggil Ralph untuk ikut pergi.
“Bentar. Aku pergi dulu nih, daaa…” berlari menghindar.
“Ehhh! Ralph, bentar?” masih tak percaya dengan omongan sahabatnya.

Siang itu terik. Seperti hari-hari sebelumnya, hawa panas matahari terasa menyengat kulit. Pasir pantai yang putih memantulkan sinar matahari. Menyilaukan pandangan dan mengacaukan mata.
Sheryl sedang duduk sendirian di ruang tengah vila. Sembari meminum sekaleng soda dingin, dia membuka laptopnya dan memeriksa apakah Donna sudah membalas suratnya atau belum.
“Belum?!! Ngapain aja sih Donna itu?” mengacak-acak kotak masuk, “Apa sibuk sampai nggak sempat balas, ya? Bohong!” beranjak mengambil segelas air dingin.
”Ehhh! Udah masuk!”

Sheryl Ridley


Hai, Sheryl... maafin ya?Kalau baru bales surat kamu. Bukannya aku sibuk banget. Tapi, memang benar juga, sih. Aku harus nyiapin semua dari awal. Bahkan, kamu tau nggak? Aku sampai nggak punya waktu main-main, lho. Sumpah, deh!

Oh, iya? Soal pemuda aneh yang tiba-tiba kasih kamu gelang itu, dia kelas 3-4, kan? Kayaknya aku nggak pernah tuh lihat dia. Mungkin, lho. Eh, apa sampai sekarang dia masih jadi temen kamu? Padahal kan habis aku dengar cerita kamu tentang dia, kayaknya lebih cocok lho kalau jadi pacar kamu. Ha...ha...ha...maaf, maafin, deh? Mungkin aku belum pernah ketemu sama dia (atau apa cuma akunya aja ya yang nggak lihat dia di sekolah?), tapi, pastinya dia pemuda yang asyik, kan? Kenapa nggak nyoba untuk, ya, sekedar bersahabatlah sama dia atau apalah (coba dong sesuatu yang baru)? Oke?! Atau kalau kamu mau, jadi pacarnya juga nggak apa-apa! He...he...he....
Dan tentang aku di sini, aku lagi sibuk cari kampus yang cocok buat aku. Kita kan tinggal nunggu hasil ujian aja, sekarang aku mau cari universitas yang Donna banget! Kan tau sendiri sifatku, kalau nggak nemuin sesuatu yang benar cocok, nggak ada niat buat ngejalaninnya, deh. Dan ampun…capek banget, lho! Nggak ada kamu di sini sepi dan mbosenin. Setiap hari aku harus nglakuin apa aja sendiri. (Padahal kan udah biasa lakuin sama kamu).
Dan buat tahun-tahun kedepan, kayaknya kami nggak punya rencana balik. Ya, lihat saja deh ntar. Tapi, jangan khawatir aku akan hubungin kamu, kok. Percaya, deh?

Maaf, aku musti ahirin nih surat. Banyak banget yang harus aku kerjain, oke? Tapi, lain waktu bisa kok kita lanjutin. Jaga kesehatanmu, ya? Jangan lupa kabarin aku tentang kelanjutan hubungan kamu sama Ralph, Oke! Sampai jumpa...bye bye...

Donna Gillmer

”Uuhh, jadi pingin ketemu Donna, nihh.....”
Setelah sejenak menekuni lagi lap topnya, Sheryl berganti baju. Lalu berjalan ke toko penyewaan. Dia menyewa sebuah sepeda gunung, lengkap dengan alat pengamannya.
Dikayuhnya sepeda menyusuri jalan dan trotoar. Banyak sekali toko-toko souvenir, café, restoran, dan bermacam tempat bertebaran di daerah itu.
Hampir sepanjang jalan dipenuhi orang-orang yang tengah shopping. Pelan-pelan Sheryl mengarahkan sepedanya melalui jajaran toko-toko. Hingga ahirnya dia mengerem sepedanya di depan sebuah toko es krim. Keinginannya besar untuk makan es krim di hari yang panas itu.
”Hmm...nyummy enak, nih,” mengigit sekali es krim cokelatnya.
Karena terlalu asyiknya makan, sampai tak melihat jalan di depannya.
”Oops, maaf?” hampir saja es krim conenya jatuh mengotori baju orang yang ditabraknya.
Untung saja orang itu cepat menghindar dan tak marah dengan kejadian tadi. Hanya saja......
“Kamu lagi? Hai.....”

Mereka sama-sama duduk di kursi bawah pohon rindang di trotoar.
”Kok ke sini sih ngapain?” tanya Ralph.
“Jalan-jalan aja. Lagian bosan kan, kalau cuma di pantai terus.”
Sheryl masih menikmati es krimnya. Ternyata sejak tadi Ralph memperhatikan Sheryl makan es krim cokelat.
“Kamu makan es krim cokelat?”
“Eh, apaan sih?” mencoba menyembunyikan, tapi keburu kelihatan, “Oh, ini? Iya, memangnya kenapa?”
Hanya tersenyum.
Mereka duduk dan ngobrol berdua di sana. Sheryl menyahut omongan Ralph sembari sibuk memakan habis es krim cokelatnya yang tinggal separuh. Dan membiarkan Ralph terus bicara dan asyik memainkan helm sepedanya.
”Eh, kayaknya aneh banget, deh!” perhatian gadis itu tak lagi tertuju ke es krim.
Dia melempar sisa es krimnya yang telah meleleh ke tempat sampah di sampingnya. Dia harus buang sampah ke tempatnya, kalau tak mau kena tilang polisi.
”Apanya yang aneh? Aku aneh ya makan es krim?”
Tangan Ralph mengacak rambut Sheryl. Sheryl jadi tampak risih dan tersenyum kecil.
Ulang Sheryl, “Oke deh aneh apanya, sih?”
“Kita kan baru aja kenal. Tapi, aku ngerasa kita akrab banget, lho. Coba deh pikirin, nggak wajar kan?”
Sejenak si gadis berpikir, ”Memang sih nggak wajar. Tapi, coba? Mau gimana lagi? Semua udah terjadi dan jalannya juga kayak gini. Lagian nggak apa-apa juga, kan? Kenapa nggak nyoba nikmatin aja?”
”Iya juga, sih. Ide bagus, tuh!”
Tambahan Sheryl, ”Atau kalau nggak mungkin cara komunikasi kita kali, ya? Jadi, orang di samping kita mikir, kita kayak udah temenan lama banget.”
”Omonganmu kayak cewek udah gede aja, ya?”
”Ehhh, pasti, dong. Aku kan udah gede. Memangnya kamu belum, ya?” godanya memulai.
“Heyyy! Kamu bisa lihat nggak? Aku pria sejati nih, kamu tahu nggak?”
”Iya, iya.....kita balik ke pantai, yuk!” ajak Sheryl mulai bosan.
Ralph bangkit dan Sheryl baru mengikuti.

“Kamu bisa selancar, nggak?” Tanya Ralph yang menenteng papan di tangan kirinya.
Senyuman, ”Kalau aku sih…?” tapi, dipotong.
”Pasti belum, ya? Gadis manja kayak kamu mana bisa main selancar ya, kan?” meremehkan.
Memang di lihat dari sisi mana saja, Sheryl kelihatan seperti gadis manja yang tak bisa apa-apa. Tapi, tak seperti dugaan mereka. Ada sesuatu di balik kemanjaan Sheryl yang menarik.
”Eh, nggak kok! Aku....,” dipotong lagi.
Tangan Sheryl ditarik dan diseret langsung ke air, ”Okelah, sini aku ajarin,” Ralph melihat Sheryl yang diam saja di air. ”Kamu lama banget sih ayo sini!”
”Aku bisa!” teriaknya.
Ralph masih tak menghiraukan pengakuan jujur Sheryl tentang dirinya.
”Seimbangin dulu badan kamu di papan,” menyodorkan papan selancar yang mengambang di peremukaan air laut.
Sheryl mengikuti instruksinya, ”Iya iya, baik, deh.”
“Bentar,” berhenti sejenak beberapa menit, sembari mengatur napas. ”Aku pingin kasih tau sesuatu sama kamu,” Sheryl ingin Ralph mendengarkannya. ”Denger Ralph! Aku bisa selancar, Oke?!!”
Senyum kecil tergambar di wajah Ralph. Dia belum percaya kalau gadis manis dan lugu itu bisa selancar. Tak mungkin. Mustahil.
“Gimana? Kamu coba sekarang, deh!” pinta Ralph setelah baru beberapa menit latihan.
”Oke, siapa sih yang takut sama kamu?”
Kebetulan ada ombak menggulung besar. Ombak yang cukup cocok untuk main.
Sekarang Sheryl menengkurapkan tubuhnya di atas papan. Di pikirannya, dia berharap ombak itu bisa membantu membuktikan kebenaran kecil pada manusia keras kepala itu.
Ombak sudah sedikit menggerakkan papannya. Lalu dengan cepat, dia sudah berdiri seimbang di papan. Dan dengan santai memainkan papannya berulang-ulang.
”Gimana?” berenang ke tepian.
Ralph hanya bengong sendiri, memandang tak percaya. Tapi, kemudian sebuah kata-kata bodoh bisa berhasil menyembunyikan kesalahannya. Dia tersenyum lebar.
”Wah, hebat juga, tuh!” menepuk bahu Sheryl. ”Nggak nyangka kamu bisa belajar cepat dari aku. Berarti aku hebat dong kalau jadi instruktur?”
Sheryl tambah keheranan dan bingung sendiri. Berpikir kenapa manusia itu tak bisa mengerti.
”Lupain!”

***

Sehabis main seharian, sore itu Sheryl mencoba bersantai di ruang tamu vila sembari nonton TV bersama teman-temannya. Karena capek dan bosan Dia malah memainkan remote di tangannya dan tak memperdulikan teman-temannya yang sedari tadi menggerutu, dan meneriaki.
”Kalau nggak mau nonton jangan dimainin, dong!” teriak teman-temannya bersamaan.
Sheryl diam dan tersenyum masam.
“Iya, iya,” katanya pergi.
Cepat dia berlari naik ke kamarnya. Menyahut suiter di kursi dan kembali turun ke lantai bawah.
Hanya satu, dua orang saja yang tahu kalau Sheryl pergi. Sebagian lagi sedang asyik nonton DVD film romantis yang sempat mereka bawa dari rumah.

Seorang waiter berpakaian santai menaruh secangkir Capuccino.
“Jam 17.33, udah sore ternyata,” memainkan cangkir di depannya.
Suasana café agak sepi. Baru kelihatan beberapa orang saja yang duduk di meja bartender. Biasanya akan penuh dengan anak muda saat menjelang malam.
Seperti kebiasaanya saat masih kecil. Kalau sedang minum kopi bersama ayahnya, selalu saja sebelum meminumnya, Sheryl harus mencium aroma kopinya dulu. Baru setelah itu sedikit demi sedikit menyerusupnya.
Matahari sejak tadi sudah terbenam. Langit bagian barat terlihat berwarna oranye dan hampir pudar. Kian lama terganti dengan pekat hitamnya malam.
“Aku kangen ayah dan ibu, nih,” memandangi sisa warna yang sebentar lagi menghilang.
Lamunanya terus melayang, memikirkan apa yang sedang orang tuanya lakukan sekarang. Terutama ibunya, ibu yang paling disayanginya. Yang sekarang sudah pergi meninggalkan Sheryl selamanya.
”Ibu lagi ngapain di sana?” mengamati sebuah titik kecil cahaya di langit berkerlip-kerlip.
”Kalau ayah sih pasti lagi sibuk kerja,” tebaknya. Lalu berpaling ke arah lain.
Semua perasaan itu membuat Sheryl terus tenggelam dalam kenangannya.
Ibunya, seorang wanita yang sangat Sheryl puja-puja. Wajahnya cantik, secantik hatinya. Dia adalah wanita yang benar-benar sempurna di mata Sheryl. Dalam hal apa saja. Tapi, ternyata diam-diam dia menyembunyikan sakitnya. Sebuah penyakit yang kian lama terus mengurangi usiannya. Liver, yang membuat dia terus muntah darah. Sampai ahirnya pergi meninggalkan Sheryl yang saat itu baru berumur 13 tahun. Saat itu Sheryl terus menangis karena tak ikhlas dia pergi.
Sedang ayahnya sudah tentu terpukul ditinggal oleh seseorang yang paling disayangi. Membuatnya terus tenggelam di dunia bisnis. Membuat dia tak lagi memperhatikan putri semata wayangnya. Padahal sebelum semuanya terjadi, dia juga begitu sayang pada Sheryl. Dan setelah hal menyakitkan itu terjadi, dapat dibilang ayahnya berubah 180o.
“Apa sih yang aku pikirin?” memegangi kepala yang tak pening. ”Udah jam 18.55, baiknya aku balik aja,” meninggalkan cangkir kopi yang setengahnya sudah berkurang.
Belum sempat Sheryl berbalik ingin berjalan menuju pintu, seseorang tak sengaja menabraknya sampai dia jatuh terduduk di lantai kayu café.
“Maaf, kamu nggak apa-apa kan gadis manis?” suara seorang pria dewasa sepertinya.
Mata Sheryl sejenak memandang orang itu.
“Aaa..ayah?” sebutnya kaget.
Pria itu memandang terkejut dan heran. Sheryl lalu berdiri merapikan bajunya yang berantakan.
”Ngapain ke sini?” tak seperti biasanya. ”Memang ayah nggak kerja?”
”Ayah mau ketemu sama kamu. Ayo duduk, sini,” menarik kursi untuk putrinya.
Sheryl memandang ayahnya senang, tapi sekaligus juga kecewa. Senang karena ayahnya sekarang datang mengunjungi. Dan kecewa karena baru sekarang datang mengunjungi, setelah hampir dua bulan tak datang.
“Ayah nggak perlu ke sini kok kalau lagi sibuk kerja,” kata Sheryl tak enak.
Ayahnya agak kecewa mendengar pernyataan itu. Sheryl yang tahu perubahan sikap ayahnya, tak melanjutkannya lagi.
“Gimana kabar kamu, sayang?” menetralkan suasana.
”Baik-baik aja kok, yah!” katanya meragukan. ”Tapi, Donna pergi, lho.”
”Ayah udah tau. Sebelum paman dan bibi kamu pergi, mereka juga pamitan sama ayah,” menjeda, mencoba menghirup udara di sekelilingnya. ”Ayah rindu keluarga ini kumpul lagi, Sher,” air mukanya berubah.
”Saat masih sama-sama ibu, kan?”
Mereka tersenyum bersamaan dan saling menatap.
Lalu mengalihkan topik pembicaraan karena terasa kaku, ”Eh, liburanmu di sini gimana?”
”Asyik banget deh yah. Cuma kadang-kadang juga mbosenin,” mengeluh.
Sementara mereka ngobrol, pesanan yang sudah mereka pesan diantarkan.
”Makasih,” mengucap pada waiter. ”Kamu masih suka es krim cokelat, tuh?”
Senyuman kecil tersungging di wajah Sheryl ketika melihat pesanan kopi milik ayahnya. Teringat waktu dulu.
”Masih suka kopi tanpa gula juga kayaknya!” pura-pura mengaduk-aduk es krimnya.
”Iya dong.”
Semuanya terasa seakrab dulu. Mereka berdua asyik bercanda dan ngobrol bersama. Bercerita tentang kegiatan dan aktivitas masing-masing. Sampai waktu telah menunjuk 20.30.
“Wah, lama juga ayah ngobrol di sini. Maaf ya, ayah harus pergi.”
Anggukan Sheryl memperjelas, “Iya deh, nggak apa-apa.”
“Tapi, sebelumnya…,” mengambil sesuatu. “Ini buat kamu,” memberikan setangkai bunga matahari yang dikemas rapi.
”Wow, romantis banget nih.....” godanya.
”Bunga terindah untuk putri yang paling cantik,” bersamaan menyebut kata-kata yang selalu diucapkan dia setelah memberikan bunga untuk Sheryl.
”Ternyata kamu udah hafal,” mengacak-acak rambut panjang putrinya.
”Ah, ayahhh, deh...,” berusaha mengelak.
”Ya, udah ayah pergi dulu, ya?” mencium kening Sheryl.
Ayahnya melambaikan tangan dan berjalan ke luar café. Lalu pergi.
Namun, tiba-tiba Sheryl tersadar akan sesuatu. Ada yang belum disampaikannya. Buru-buru dia berlari ke parkiran, berharap ayahnya mash di sana dan belum pergi.
”Yah?! Ayah...!!” mencari-cari mobil ayahnya. ”Ayah...” panggilnya lagi, “Udah pergi.”
Duduk di pembatas parkiran, “Hari ulang tahunku!”

***

”Siang.....”
”Hai!” balas Sheryl.
Tak jauh dari tempat mereka ngobrol, Jannet, yang Ralph kira ada di vila, ternyata ada di pantai.
”Mereka lagi ngapain, sih?” mulai timbul kecurigaan. ”Berdua aja ngobrol misah dari yang lain seakrab itu? Bukannya Sheryl baru kenal Ralph? Kok jadi akrab gitu?” bertanya-tanya.
Jannet tak menyangka kalau Ralph menyadari keberadaannya.
”Jannet?” teriak Ralph.
Awalnya Jannet ingin pura-pura tak melihat mereka. Tapi, terlambat, Sheryl dan Ralph keburu melihatnya. Dia tak dapat berpaling lagi, biar mereka tak menggangap dirinya acuh.
“Sini bentar!” pinta Ralph.
“Maaf, aku lagi di tunggu temen-temen, lain waktu aja ya?” menyangkal, melambaikan tangan dan berlari menjauh.
”Kenapa sih dia? Kok nolak gitu?” tanya Sheryl. “Ngggg, aku lihat kamu udah jarang banget sama dia?”
Jannet buru-buru lari dan masuk ke café.
”Nggak tahu,” balasnya. ”Udah, jangan mikirin dia. Makan aja es krim kamu. Tuh, udah nyair.”
Selesai ngobrol Ralph berpamitan pergi.
”Kok aku jadi canggung gini?” gumam Sheryl. ”Benarnya ada apa, ya? Jannet selalu lihatin aku aneh gitu?”

”Aduhh, ayah ingat nggak ya sama ulang tahunku?” pikir Sheryl. ”Moga aja nggak kayak tahun lalu, tahun kemarin lusa, kemarin lusanya lagi, lagi, lagi, dan lagi,” mengingat-ingat daftar jadwal pesta ulang tahun saat ayahnya absen. ”Dua kali ulang tahunku cuma sama Donna. Sekarang Donna juga udah pergi. Sama siapa lagi, dong? Udah lagi ulang tahun yang ke-17. Ah, ya ampun ’My SweetSeventeen Party’!!”

***

”Nggak aktif, lagi,” menutup ponsel.
Pagi itu baru pukul 06.15. Suasana di luar masih sepi. Di dermaga kapal-kapal masih merapat di pelabuhan. Bergoyang-goyang karena gelombang, angin, dan riak air laut.
Sesekali Sheryl masih coba menghubungi ayahnya. Dia beberapa kali menekan tombol nomor di ponsel dan sejenak menempelkannya ke talinga. Namun, tak berapa lama Sheryl kembali kecewa. Tak ada jawaban dari seberang.
”Kok sulit banget sih.....,” menekan lagi tombol ponsel, lalu mendekatkan ke telinga.
”Masih nggak bisa dihubungin!” melempar ponsel ke ranjang dan disusul tubuhnya sendiri.
”Gimana aku mesti ngingetin, ya?” memandang langit-langit kamar, menutup muka dengan kedua telapak tangan.

Gadis yang gundah itu tengah duduk melamun di pantai. Dia masih menanti ponsel ayahnya aktif lagi.
Masih juga duduk di tepian pantai mengamati ponselnya. Sesekali tak sadar kalau gelombang air laut tak sengaja mengenai ujung kakinya. Kadang ombak kecil juga membuat basah sisi bajunya. Tapi, dia tetap cuek.
”Ya, Tuhan. Ayah inget nggak, ya?” mulai gelisah lagi. ”Besok udah ulang tahunku,” menundukkan kepala.
Sebuah helaan napas karena kecapekan dan kelelahan terhembus dari bibirnya.
”Ayo main! Dari pada di situ sendirian.”
Sheryl menggeleng. Lalu yang lain hanya mengangkat bahu, dan pergi.
Sheryl masih menekuni ponselnya. Beberkali-kali mencoba menghubungi ayahnya lagi dan lagi.
”Nggak bisa.....!”
Dia tak sadar kalau diam-diam Ralph memperhatikan dari kejauhan. Sesuatu terpikir dalam benakknya.
”Kamu lihat apaan, sih?” Jannet penasaran.
Gadis itu mencoba mencari-cari arah mata sahabatnya.
Tapi, Ralph secepatnya berpaling, “Nggak kok cuma….., udah deh nggak penting!”
Jannet melihat Ralph berjalan meninggalkannya, menuju lapangan voli. Lalu kemudian berpaling melihat Sheryl, yang berjalan berlawanan arah dari tujuan Ralph.
“Aku tau, apa mungkin gitu…? Tapi, nggak mungkin!”

“15.30.” memeriksa jam dinding ruang tengah, “Biasanya ayah kan selesai kerja jam 17.30, kayaknya ponselnya bisa aktif jam segitu.”

***

Dia, seharian itu tak main ke pantai. Sampai sekarang hanya duduk melihati ponsel saja. Tanpa ada kata menyerah sedikitpun, Sheryl masih mencoba menelepon ayahnya, meski dengan hasil nihil.
Sekali lagi dicoba. Tapi, sekarang nomor kantor ayahnya yang dihubungi.
“Halo?” sapa Sheryl.
Dari telepon seorang resepsionis menyahut.
“Ada yang bisa kami bantu?”
“Maaf , apakah tuan Ridley ada di tempat?” sahut si gadis. ”Ini Sheryl, putri tuan Ridley.”
”Maaf nona, tapi, tuan Ridley sedang meeting. Dan tak bisa diganggu sekarang,” katanya menyesali.
”Ooh...kira-kira sampai jam berapa ya meetingnya selesai?”
”Baru mulai beberapa saat lalu. Dan mungkin akan selesai tiga jam lagi.”
Sheryl diam.
”Mungkin anda ingin meninggalkan pesan untuk dia?”
”Tidak. Maaf telah menganggu. Selamat sore.”
”Selamat sore.”
Terdengar telepon dari resepsionis telah ditutup.
“Meeting lagi,” keluhnya capek. “Mungkin tahun ini ulang tahunku dilaluin sendirian lagi,” menutup ponsel yang sejak tadi dibiarkan saja.

Tanggal 7 Februari
Waktu baru menunjuk pukul 18.30.
“Udah jam segini,” melihat jam tangan. “Masih belum pulang juga kayaknya.”
Begitu gelisahnya dia, sampai tak bisa duduk tenang. Bukan masalah apa-apa, tapi dia hanya ingin saat-saat dia meniup lilin dan memanjatkan permohonan hari itu, ada ayah yang datang menemani.
Sejak awal, dia memang jarang datang ke ulang tahun Sheryl. Bahkan saat ibunya masih ada. Setiap tahun hanya almarhum ibunya dan Donna saja yang menemani. Meski kadang ketika ayahnya tak sedang sibuk, dia akan datang dan mengikuti separuh acara ulang tahun putrinya. Lalu sebelum pesta berahir, ayahnya harus segera kembali ke pekerjaannya lagi. Namun, itu sudah cukup membuat Sheryl senang. Itu sebabnya, Sheryl berharap tahun ini ayahnya akan datang lagi dan menemaninya sampai acara makan malam sederhana yang Sheryl rencanakan berahir.
Apalagi ulang tahunnya kali ini adalah yang ke-17. Banyak orang bilang usia 17 adalah saat-saat yang manis bagi semua remaja.
”Ya Tuhan, moga ayah datang,” harapnya. ”Hmmm....., apa Tuhan marah sama aku karena dulu pernah nyalahin Dia saat Donna pergi, ya?” penyesalan tersirat di wajah cantik Sheryl.
Malam itu Sheryl kelihatan cantik. Meskipun hanya pakai setelan kasual miliknya. Dengan bantuan teman-temannya, wajah Sheryl yang kelihatan cantik di kesehariannya kini jadi lebih cantik. Rambut yang biasanya digerai begitu saja, kini terlihat lebih manis dan rapi dengan sebuah jepitan rambut mungil. Tak ada yang tahu kalau hari itu dia ulang tahun. Bahkan teman-teman yang membantunya sekali juga.
”Mau kemana, sih? Kok rapi-rapi gini?”
”Makan malam sama ayahku. Mau ikut?”
Semuanya menggeleng.
Petang, gadis itu berjalan menuju restoran. Lalu duduk di meja yang sudah dipesan sebelumnya. Meja yang letaknya di sudat ruangan, dengan pemandangan laut yang langsung dapat dilihat dari sana.
”Ada yang mau anda pesan nona?” tanya sang pelayan.
”Hmm, nggak nanti aja. Aku masih nunggu seseorang.”
Detik, menit, dan jam berlalu. Sambil menanti ayahnya yang tak pasti datang, dia bersenandung lirih. Menanti dengan perasaan harap-harap cemas. Senandung masih terlantun dari bibirnya. Secangkir copuccino sudah habis ditenguk. Sampai harus memesan secangkir lagi untuk menemani menanti.
Sudah dua jam berlalu. Gadis itu menanti dan terus menanti, menanti hal yang tak pasti. Sekali lagi dicobanya menghubungi ponsel ayahnya. Masih belum aktif.
”Kenapa, ya? Apa memang benar nggak mau datang?” batinnya.
Pukul 21.00, sudah terlampaui 15 menit. Suasana mulai sepi, meski restoran masih tetap dibuka sepanjang malam. Beberapa pasangan, berdua menikmati makan malam mereka. Pelayan restoran juga sudah beberapa kali menghampiri Sheryl dan memberikan daftar menu bila dia ingin memesan sesuatu. Di saat-saat seperti itu Sheryl mencoba menanti ayahnya sejam lagi berharap dia akan datang.
”Maaf, nona apakah sudah memutuskan untuk memesan sesuatu?”
Sheryl terjaga, ”Eh, iya. Kalau gitu Spagetti aja.”
”Baik, tunggu sebentar.”
Spagetti itu hanya dipandang tanpa disentuh. Wajahnya mulai kelihatan capek, matanya sayu. Tiba-tiba saat itu ponselnya berdering. Tanpa melihat nama di layar ponsel, dia langsung mengangkatnya.
”Ayahhh....!” sapanya senang.
”Lho, ada apa, Sher?” terdengar suara Donna dari seberang telepon. “Memang ada apa sama ayahmu?”
“Aaaa…nggak, nggak, kok,” bohong.
“Kamu baik aja, kan? Maaf lho aku nggak bisa nemenin kamu sekarang...,” sesalnya. ”Gimana pestanya? Kan pesta SweetSeventeen, pasti asyik dong? Ramai nggak? Tapi, kok nggak kedengeran musik, ya?”
Sisi mata Sheryl sudah basah. Karena air mata yang memaksa keluar.
”Pesta?”
”Iya, pestamu? temen-temen banyak yang datang, kan?”
Menghapus cairan di sisi matanya, ”Ya, ramai nih, semua temen-temen kita aku undangin,” bohong agar Donna tak kecewa.
”Wah, pasti asyik dong! Jadi pingin ngumpul lagi, deh? Tapi, kok kedengaren sepi?”
Sheryl tersentak kaget, ”Eh, itu aku..aku lagi ada di luar ruangan. Pestanya kan di café,” bohong lagi.
“Maafin aku ya? Aku nggak bisa datang. Tapi, semua doa dan keinginan terbaikku ada buat kamu, kok. Janji! Harapan terbaik aku cuma buat Sheryl deh, oke?”
”Makasih......”
”Sheryl udah 17 tahun sekarang. Nggak kerasa udah gede.”
Tawa lirih kedengaran kaku.
”Maaf, aku harus nutup teleponnya, nih. Kan mahal telepon ke luar negeri? Happy birthday to you, moga panjang umur dan sehat selalu. Selamat malam....”
”Daa...sampai jumpa.”
Hatinya tambah capek. Makanan di depannya tak dilihat, bahkan disentuh lagi. Sekarang sudah pukul 22.26. Perasaanya sudah terlanjur kecewa.
Dia kembali ke vila. Sudah sepi, tak ada satupun orang yang ada di ruang tengah. Wajahnya semakin lelah. Air matanya sudah mengering. Gaunnya hanya diletakkan di kursi pojok ruangan. Dia berganti dengan baju santainya. Sekarang dia tengah duduk bersandar di kusen jendela, memandang semua yang berwarna hitam, remang-remang.

”Udah deh, nggak datang ke ulang tahunku juga nggak apa-apa,” gumam Sheryl. ”Tapi agak kecewa juga sih, nggak datang di hari spesialku. Padahal yang ke-17, nih. Seenggaknya kirim kabar kalau nggak bisa datang,” matanya memandang jauh ke langit melihat sebuah bintang.
Kini Sheryl duduk di kusen jendela dengan kaki yang terjulur ke luar. Padahal kamarnya ada di lantai dua gedung.
”Ibu, kayaknya tahun ini aku sendirian lagi, deh. Nggak ada ibu, ayah, apalagi Donna. Sedih banget.”
Mengubah posisi duduk.
”Eh, bentar lagi kan tengah malam. Aku belum berdoa, nih.”
Semenit kemudian, terlihat Sheryl memejamkan matanya dan memanjatkan sebuah permohonan.
”Hmm, Tuhan, aku pingin semua balik kayak dulu, ya? Sama ayah, ibu, dan Donna lagi. Nggak apa, kan?” pintanya serius. “Habisin seluruh waktuku sama mereka. Dan bahagia selamanya. Eh, kok kedengeran kayak ahir cerita khayalan aja, deh! Nggak apa-apalah. Dan, oh iya? Moga aku bisa hadapin masalah yang menurut aku tambah berat, diusiaku yang udah 17 tahun ini, ya? Makasih Tuhan. Amin,” Desahnya.
Matanya terbuka. Dengan sapuan pelan, dia menghapus sisa air mata. Lalu mengamati sebuah bintang di langit.
”Selamat malam,” ucapnya, menutup gorden jendela dan mematikan lampu kamar.
Malam.

***

Pagi-pagi gadis itu terbangun oleh alarm jam weker yang berdering keras. Telinganya terganggu dengan sambutan pagi yang berisik itu. Mendenging. Terpaksa dia harus membuka mata karena alarm jam wekernya masih ribut. Padahal di benaknya, dia masih ingin tidur seperti Sleeping Beauty. Tapi, malah ada suara bising itu. Dia harus membuka mata, meski wajahnya masih tertutupi selimut.
”Duh, berisik banget nih!,” tangannya mencari-cari jam weker yang ada di meja samping tempat tidur.
Karena tak ada di meja, ahirnya selimut yang menutupi wajahnya terpaksa disibakkan. Matanya merah dan lelah. Sembari menguap dia bangun dari kemalas-malasannya dan menyahut jam weker yang ternyata ada di samping tempat tidur.
Sehabis dari kamar mandi menyegarkan tubuhnya, Sheryl berjalan menuruni tangga menuju ruang tengah.
”Pagi, Sher....,” sapa teman-temannya. ”Mau sarapan, nggak?”
Sheryl menggeleng, ”Makasih, biar aku nanti sarapan di café aja,” duduk di sofa samping temannya.
”Tadi malam pulang jam berapa?” tanya yang lain.
”Nggak tahu, ah. Aku nggak lihat jam. Langsung tidur aja, ngantuk banget, sih,” bohong lagi agar tak ada yang curiga.
Sheryl memperhatikan TV dengan acara reality show.
”Aku pergi duluan, ya? Pingin jalan-jalan.”
Tanpa alas kaki, Sheryl memijakkan kakinya di pasir pantai yang lembut. Dia berjalan ke tepian pantai yang mulai ramai. Kakinya tak dapat berjalan cepat karena terbenam dalam pasir. Dia berdiri di tepi pantai. Kakinya basah karena air laut. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, soalnya pagi itu dingin sekali.
”Masih sepi. Jadi, aku bisa sedikit santai di sini. Pusing juga tiap hari harus denger suara ribut orang-orang,” bersyukur.

”Kenapa aku harus bingung,” duduk di dermaga mencelup kakinya ke air laut yang dingin. ”Hmmmm...dinginnya,” merasakan air laut pagi itu. ”Setiap tahun ayah kan memang jarang datang. Bukannya aku harus mandiri, nggak manja. Cuma gitu saja kok jadi sedih. Lagian aku kan udah 17 tahun, nggak perlu lagi merengek-rengek minta pesta ulang tahun besar-besaran, kok,” mengintrospeksi diri.
Kakinya mencipratkan air.
”Memang aku harus lupain hal itu, dan mulai nikmatin liburan musim ini,” mengangguk menyetujui. ”Haaah... aku kan udah 17 tahun. Nggak perlu deh bersungut-sungut, cengeng banget!” merentangkan tangan merasakan dinginnya angin pagi.

”Belum makan,” menanti sarapannya datang di café.
Semenit kemudian sepiring nasi goreng hangat tersaji di atas meja. Asap tipisnya mengepul dari piring.
”Kamu kok kelihatan beda?” komentar Ralph duduk di depan Sheryl tiba-tiba. ”Lebih baikan dikit dari kemarin.”
Pertanyaanya tak langsung di jawab, “Hai, pagi? Udah sarapan belum?”
“Kamu kenapa, sih? Sakit, ya?” menyentuh kening Sheryl tiba-tiba.
”Nggak apa-apa.....,” menghindar dan mulai melanjutkan makannya lagi.
”Kamu lagi ngapain tadi malam di restoran sendirian?”
”Tadi malam? Oh, aku lagi....,” tak dilanjutkan. Dia berpikir. ”Memang kamu lihat aku lagi ngapain tadi malam?”
”Hmm...nunggu orang deh kayaknya,” menebak.
”Tuh lihat! Cuma nebak-nebak aja, kan?”
“Hey… tadi malam aku kan cuma kebetulan lewat aja,” membela. ”Memang apa sih yang kamu lakuin?”
”Nggak lagi ngapa-ngapain.”
”Masa? Aneh, deh,” komentarnya lagi, ”Siangnya aku lihat kamu gelisah dan bingung gitu, lho.”
”Sok tau kamuuu!! Udah, ah....aku lagi nggak pingin mbahas. Yang pastinya tadi malam aku cuma makan malam aja. Titik!”
”Idih, kok ngotot gitu. Ya, udah!”
Ralph mendengar jawaban dari Sheryl. Kedengarannya dia memang benar-benar tak ingin membahasnya. Ralph mengalah.
“Benarnya apa sih yang terjadi?” entah Sheryl menanyakan apa, “Jannet selalu lihatin aku aneh, lho. Kemarin aku nogbrol sama dia, dan nggak tau kenapa, sikapnya jadi berubah gitu.”
Ralph terperanjat, “I…itu, itu aku nggak tau juga. Mungkin tiba-tiba aja dia punya urusan dan ninggalin kamu.”
”Tapi aneh, sikapnya berubah sebelum pergi.”
”Lho, kenapa nanya aku? Bukannya kamu yang bisa ngertiin cewek lain?” melempar pertanyaan.
”Nggak yakin ya, tapi,...,” meragu.
Mereka berdua terdiam sejenak.
”Kayak sikapnya orang cemburu gitu. Apa gara-gara aku deket sama kamu?” memandang Ralph.
”Eh, Jannet itu cuma sahabat aku, ya? Tapi, bukannya temenan itu wajar?”
”Tapi, aku selalu mergokin dia lihatin aku curiga kalau aku bareng sama kamu, ngobrol, atau main. Apa ini juga yang bikin dia nggak sama kamu?”
Wajah dan tatapan Ralph serius.
“Moga aja nggak, deh,” menyembunyikan sesuatu. ”Tapi....., kayaknya aku harus kasih tau kamu sesuatu, nih.”
Sheryl tak mengerti maksud Ralph. Tapi, keingintahuannya mulai timbul.
“Aku udah jadi sahabat Jannet sekitar 7 tahunan. Ya, bisa di bilang lumayan lama, deh. Dia temen sekelasku waktu masih di SD. Dulunya dia gadis pendiam, dingin, dan jarang ngomong, lho,” ulasnya. ”Dia selalu diganggu sama anak-anak lain. Bikin aku bosen dan males harus lihat dia,” menjeda. ”Sampai suatu hari, Jannet dihadang sama anak nakal sekolah lain. Kebetulan waktu itu, aku lagi pulang latihan Baseball. Aku lihat dia diejek, diolok sampai dia nangis.”
Sheryl menyimak dengan serius. Mungkin dia juga bisa menemukan hal menarik di dalamnya.
”Karena di sekolah aku udah bosan lihat dia diganggu temen sekelas, niatku buat nolongin dia muncul. Nggak tau sama apa aku bisa buat mereka lari saat lihat aku datang,” diselingi canda.
Ralph tertawa renyah.
Senyum keheranan tersungging di bibir Sheryl. Masih sempat juga orang itu membanggakan diri.
”Tapi, ahirnya mereka pergi juga. Lalu, waktu aku antarin dia pulang, aku baru sadar kalau ternyata dia tetanggaku. Rumahnya persis di depan rumahku,” ceritanya mulai tertawa.
”Kamu keterlaluan banget tuh, kalau tiap hari nggak lihat dia pulang, pergi, atau main boneka di depan rumah, ya ampun!” Sahut Sheryl tersenyum.
Ralph jadi tertawa renyah.
”Benar juga, sih. Waktu itu aku juga ngrasain hal yang sama. Mungkin karena aku cuek gitu, ya? Atau mungkin karena dianya aja yang jarang kelihatan,” tersenyum. ”Kulanjutkan, nih!”
Mengangguk.
”Nggak tahu, lama-lama aku jadi peduli sama dia. Sampai ahirnya kami jadi temen. Dia juga udah bisa terbuka sama aku. Dan nggak lama, dia jadi sahabatku. Setiap ada masalah yang ganggu dia, aku selalu datang nolong. Sampai dia jadi tergantung sama aku,” mengahiri cerita.
”Kisahnya indah juga.....”
Senyum kecil tersungging di bibir Ralph, ”Nggak seindah itu, kali. Dia jadi egois sama siapa aja.”
”Aku tau maksud kamu. Jannet bakal ngerasa kehilangan kamu, kalau kamu lagi deket sama orang lain, kan? Pasti dia mikir, kalau mereka yang deket sama kamu akan ngrebut kamu dari dia. Terutama kalau mereka yang deket sama kamu itu cewek.”
Tiba-tiba Ralph menyahut, ”Kesimpulannya panjang juga, tuh!”
Hati Sheryl diam-diam membenarkan sikap Jannet. Tapi, juga sebagian menyalahkannya. Menurut Sheryl, tak perlu berlebihan begitu pada sahabat yang mau punya teman baru lagi.
“Memang sedih sih rasanya kehilangan sahabat yang disayang. Ya, kan?”
“Maksud kamu, kamu juga punya sahabat, ya?”
Tawa lirih muncul di bibir Sheryl, ”Lho, pasti, dong. Umumnya tiap orang kan punya sahabat? Memang cuma kamu aja yang punya? Weee....”
Sheryl mencibir ke arah Ralph.
Wajah Ralph terlihat masam karena sebal dengan sikap Sheryl yang sok tak tahu dengan maksudnya.
“Sama, dia juga temenku sejak kecil. Satu sekolah kok sama kita. Kelas 3-5. Kamu kenal dia nggak?”
”Hmm? Kayaknya nggak, deh.”
”Dasar!” umpat Sheryl. “Kok nggak gaul, sih?”
Ralph menginjak kaki Sheryl. Membikin Sheryl menggerutu menahan sakit.
”Ya, udah, namanya Donna. Mungkin kamu memang nggak kenal sama dia. Tapi, itu nggak penting,” menjeda. ”Dia sahabat terbaik aku. Bahkan udah kayak saudaraku sendiri, lho. Tiap hari kami nglakuin apa aja bersama. Semua jadi nyenengin kalau ada dia. Donna orang yang paling aku sayangi dunia ini, setelah orang tuaku tentunya. Banyak banget bantuan dia buat aku sampai nggak bisa dijelasin.”
”Terus maksud kamu ngerasa kehilangan? Bukannya dia sayang sama kamu?”
”Itu udah lain lagi ceritanya. Dia pergi dari sini. Pindah ke luar negeri ikut sama orang tuanya. Kamu tau nggak? Waktu dia pergi, aku kehilangan banget bagian hidupku. Dia udah kayak kembaranku aja.”
Ralph yang serius mendengarkan, sekarang.
”Jadi, apa yang harus kita lakuin buat Jannet, nih? Aku nggak mau jadi perusak persahabatan orang lain, lho.”
”Serahin aja deh sama aku. Biar aku yang urus semua, oke?”
”Makasih, lho,” ucap Sheryl. ”Tapi, aku pergi dulu, nih,” Ingin memanggil pelayan untuk membayar makanannya.
”Hey, udah. Biar aku yang nraktir.”
“Nggak usah, masa tiap hari kamu terus yang nraktir.”
Ralph mengerling genit, ”Buat gadis manis kayak kamu, apa sih yang nggak!”
Si gadis merinding. Tapi, keduannya tahu kalau itu cuma gurauan saja. Tawa renyah terdengar dari keduanya.

“Mancing yuk! Biar nggak bosen,” ajak temannya.
“Bukannya kalau mancing itu malah bikin bosen?!”
Tangan Sheryl ditarik dan diseret ke dermaga. Dia tak bisa berkutik.
“Udah, ya?”
Sahut teman Sheryl, “Belum.”
”Kayaknya udah, deh.”
”Belum...”
”Selesai!”
Yang lain menyahut, “Belum…!!”
Sheryl terus melanjutkan, “Tuh kan udah!”
”Belummm....!!!!”
Suasana jadi tegang seperti di forum perdebatan.
”Kapan selesainya?” tambah Sheryl.
Keempat pasang mata teman-temannya menatap tajam. Mata mereka menampakkan kesebalan.
Lalu tiba-tiba kail Sheryl terasa tertarik.
”Ehhh, kenapa,nih?”
Yang lain melihat arah air. Sheryl mempertahankan pancingnya. Mereka sama-sama tegang.
”Eh, dapat-dapat!!!”
Suasana jadi panik seperti arena pertandingan rodeo.
”Tarikkkkk.....!!!”

”Kamu hebat banget, Sher?” puji salah satu saat duduk-duduk di pantai.
Tadi, Sheryl dapat ikan dari hasilnya mancing. Padahal awalnya Sheryl menolak main hal yang menurutnya justru membosankan itu. Tapi, teman-temannya yang aneh, berpikir sebaliknya.
”Hebat apanya? Kalian tuh yang memaksa terus!”
”Main air, yuk!” tiba-tiba menarik tangan Sheryl, sebelum dia sempat mengelak untuk yang kedua kalinya.
“Eeeh…..!!!”

“Selesai! Mereka seenaknya aja sama aku.…” bersyukur, sembari menghapus peluh yang mengalir dari keningnya.
Kini dia bisa terbebas dari belengu paksaan teman-temannya.
“Eh, Ralph?” melihat Ralph bersama Jannet di pantai, “Akur banget mereka? Pasti jarang bertengkar, deh. Aku jadi ngerasa.....” tak diteruskan, karena mengingat obrolannya dengan Ralph tadi pagi, ”Jadi penggangu.”
“Apa aku harus hindarin mereka?”

”Halo, Sher?”
”Eh, ayah? Kok ke sini?” sahut Sheryl lirih, sedikitpun tak menampakkan rasa senang, tapi dipaksakan untuk tetap ceria.
”Ikut sama ayah bentar, ya?”
Dengan uluran tangan ayahnya, Sheryl berdiri. Dia mengikutinya.
“Ayo, masuk ke mobil dulu,” membuka pintu.
Ayahnya masuk dari pintu yang lain.
Wajahnya kelihatan penuh sesal, ”Ayah pingin minta maaf sama kamu.”
”Tentang apa, ya?”
”Waktu ayah nggak datang saat hari ulang tahunmu. Padahal kan yang ke-17, kan?”
Sejenak, di keduanya membisu. Sheryl jadi ingat lagi dengan kejadian kemarin, padahal sebenarnya mulai dia lupakan.
”Oh, itu? Nggak apa-apa. Lagian ada kawan-kawanku. Jadi, Nggak apa-apa, yah,” bohong.
Ahir-ahir itu, Sheryl jadi sering bohong demi orang lain. Tapi, tak apalah agar mereka tak sedih karenanya.
”Aku tau ayah sibuk, kan? Makannya itu aku nggak terlalu berharap ayah akan datang,” mejelaskan. ”Tapi, kok nggak ngasih kabar kalau nggak bisa datang?”
Alasan yang akan dikatakan sudah terbayang di pikiran Sheryl. Sebenarnya tak perlu dia menanyakan hal itu. Karena hanya alasan itu saja yang selalu dikatakan padanya. Tapi, untuk menyembunyikan kebohongannya, tak apalah.
”Ayah lagi sibuk, jadi nggak sempat hubungin kamu. Kata resepsionis kantor ayah, kemarin sempat telepon, ya? ada apa?”
”Ah, nggak!.”
Senyum kecil tersungging di wajah Sheryl. Baca! Tebakan Sheryl tak pernah salah.
“Udah ayah, nggak apa? Aku nyoba buat nglaluinnya tanpa ayah. Aku pingin mandiri.”
Dia memandang Sheryl bijaksana.
“Kamu udah dewasa sekarang, udah 17 tahun, sih?” membelai lembut rambutnya.
Hati Sheryl diam-diam memendam kecewa pada ayahnya. Selalu saja sibuk, tak punya waktu. Bahkan hanya untuk menelepon atau mengirim pesan sekalipun? Dari luar dia terlihat tegar, dewasa, dan pengertian. Tapi, dibalik itu semua, ada kurang lebih, sebagian dari hatinya yang menangis dan rapuh.
”Oh iya, ayah sampai lupa!” mengacak tas kerja.
Sheryl menanti dengan penasaran.
”Lho, ini apa yah?” mengamati sebuah kotak hitam di tangannya.
”Coba buka aja!”
Sebuah gelang perak yang sangat indah tertata rapi dalam kotak. Gelang yang indah sekali.
“Cantik yaaa….,” benar mengagumi. “Ayah nggak harus repot-repot beliin buat aku, kok,” mengembalikannya ke kotak.
“Ini permintaan maaf ayah, sekaligus hadiah ulang tahunmu.”
”Nggak, usah yah,” tolaknya.
Ayahnya terdiam, Sheryl tahu yang tengah dirasakannya.
“Makasih, yah.”
”Sini ayah pakaikan.”
Sheryl mengulurkan tangan kirinya. Dia lupa kalau di sana sudah ada gelang Donna dan Ralph.
”Hmm, sudah ada gelangnya. Dari siapa? Kekasihmu?” seperti biasa mulai menggoda.
”Ah, ayah. Ini semua dari temen-temenku.”
”Iya, iya, kalau gitu untuk tangan kananmu aja, ya?”

Waktu berlalu. Jam menunjuk pukul 20.30. Ayahnya segera berpamitan, ingin kembali ke kantor. Setelah mengucapkan terima kasih dan selamat malam, Sheryl keluar dari mobil ayahnya.
”Sampai jumpa besok, ya? Daaa...,” melambaikan tangan.
”Daaa ayah....,” membalasnya dan tersenyum.
Mobil itu melaju dan menghilang di tikungan diiringi perhatian Sheryl. Setelah menghilang, dia berbalik kembali ke vila.
“Cantik, ya?” katanya. ”Tapi, sayangnya aku nggak bisa nerima ini,” melepas gelang dari ayahnya dan mengembalikan ke kotak semula.
Dia berdiri di parkiran yang hanya ada beberapa mobil. Matanya menghangat, lalu meneteskan cairan. Tapi, langsung dihapusnya.
”Ini bagus banget dan mahal buat aku,” mengamati. ”Benarnya bukan ini yang aku mau, ini berlebihan,” mengenggamnya erat.
Matanya melihat langit. Ke arah bintang malam itu. Bekas air mata masih tersisa di wajahnya.
”Aku tegar, aku bisa tahan sendiri, kok. Aku udah dewasa,” mencoba menumbuhkan semangat dan kepercayaandirinya lagi.
Dia mengayunkan tangan ringan, kotak itu terlempar tepat masuk ke tempat sampah.
”Baiknya gitu aja.”
Kado itu, sudah jadi salah satu barang yang tak berharga bagi dirinya. Meski barang itu dari salah seorang yang disayanginya, dan satu-satunya dimiliki, tapi baginya semua tak berharga kalau dia yang memberinya saja tak memberi perhatian. Dia tak ingin barang mahal seperti itu jadi pengganti. Dia hanya ingin sebuah perhatian.
Setitik perasaan puas membuatnya berjalan meninggalkan tempat itu. Tak menyadari kalau seseorang melihat semuanya.
“Jadi, itu sebabnya?” Ralph ke luar dari mobil, kemudian berjalan mendekati tempat sampah. ”Jadi, hal itu yang bikin dia sedih,” memungut kotak itu dari tempat sampah.
Melihat Sheryl berlari masuk ke vila.
”Gadis tegar itu diam-diam terluka.”

***

Karena kejadian yang tadi malam membuatnya sedih, Sheryl harus menutupi kesedihannya agar tak seorang pun tahu, pagi itu.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” menanyakan pertanyaan yang sudah pasti tak dijawab jujur oleh Sheryl.
”Hah? Apa? Maksud kamu gimana?”
Ralph segera menutup mulutnya dengan salah satu tangan. Dia keceplosan menanyakan hal itu.
”Ah, nggak! Nggak! Mau kutraktir es krim nggak?”
Sheryl menggeleng, ”Nggak mau!.”
Suasana jadi kaku.
”Aku lagi malas. Jadi, beli sendiri aja,” melihat Ralph salah tingkah dengan omongannya tadi. ”Lagian kamu selalu aja nraktir aku,” Sheryl tersenyum.
Senyuman itu apa hanya pura-pura saja.
”Ya, udah kalau nggak mau. Aku beli sendiri aja, ya, daaa...,” beranjak pergi.
Gadis itu tak mengatakan apapun. Dan tak melihat orang itu pergi. Hatinya sangat capek dan lelah. Bukan karena keputusan Ralph untuk membeli es krim sendirian, tapi hatinya terasa sakit mengingat kejadian tadi malam.
”Ya, Tuhan....,” dia memejamkan mata.

Sampai saat itu hatinya masih galau.
Beberapa menit Sheryl melakukan pemanasan, lalu berenang ke laut dengan papan selancarnya. Menanti ombak besar datang dan memulai permainannya.
”Apa tadi malam Ralph lihat semuanya? Soalnya sikapnya hari ini aneh banget,” pikirnya. ”Tapi, nggak mungkin. Tadi malam kan nggak ada siapa-siapa di parkiran. Apa dia sengaja mengikutiku atau cuma kebetulan?”
Di benaknya penuh pertanyaan-pertanyaan yang membikin hatinya terus penasaran. Lalu terus menebak pikiran orang lain.

Sheryl siap dengan helm sepeda, pengaman lutut dan siku. Dia mengarahkan sepeda ke jalan pertokoan. Sesekali dia bersenandung menirukan lirik sebuah lagu yang didengarnya lewat Discman.
”Asyik, ada toko permen!”
Beberapa menit kemudian, dia keluar dengan beberapa batang cokelat, yang salah satunya sudah dimakan.
Sheryl penggemar berat cokelat sejak dulu. Bahkan sampai sekarang dia masih suka. Saat kecil dia bahkan hampir setiap hari makan cokelat. Tapi, setelah SMP, Sheryl jadi jarang sekali makan. Mungkin seminggu sekali atau dua minggu sekali, Sheryl mampir ke toko permen. Itu pun hanya kalau dia punya waktu. Karena sekarang aktivitasnya banyak sekali. Apalagi di sekolah. Kalau tidak beli sendiri, pasti Donna yang memberinya. Tapi, sekarang dia mencoba menahan keinginanya makan cokelat. Dia takut kalau tiba-tiba berat badannya naik gara-gara cokelat.
”Hmm....manis,” mengulum potongan cokelat Candy Bar.
Sudah dua jam jalan-jalan, Sheryl ingin kembali ke vila karena hari mulai sore.
Sepeda yang dia sandarkan di tiang lampu jalan diambil. Setelah membenahi pelindung siku yang mulai kendur, dia mengayuh pedalnya. Pelan-pelan, di jalan aspal menuju pantai. Masih sempat menengok kanan kiri, untuk meneliti mungkin masih ada sesuatu yang belum dilihat.
Lalu mata itu mengarah ke sebuah café. Ada ayahnya.
“Di hampiri atau nggak, ya?” pikirannya bergelut.
Ahirnya….
“Sheryl?” sahutnya kaget. “Kok ada di sini?” balik bertanya.
“Harusnya kan aku yang nanya sama ayah.”
“Oh, ayah nunggu klien perusahaan,” menjelaskan. “Kamu?”
“Jalan-jalan aja,” menarik kursi, di depan tempat duduk ayahnya dan langsung duduk. ”Tapi, kok di tempat kayak gini? Bukannya enakkan di kantor?”
Senyum jenaka terlintas di wajah ayahnya, ”Pingin tau banget, ya?” bermaksud menyindir.
Wajah Sheryl bersemu merah karena terlalu ikut campur.
”Klien ayah itu orang penting dan proyeknya akan di bangun di daerah sini. Jadi, seklian aja kami mensurvei tempat yang akan dipakai.”
”Oh, jadi....,” terpotong oleh sapaan seseorang.
”Selamat sore, apa saya menggangu...,” suaranya lembut.
”Sore...,” balas Sheryl.
“Tuan Ridley?”
Ayahnya terlihat mengangguk. Kemudian diam-diam melirik Sheryl dan mendehem lirih. Sheryl mengerti kalau dia harus segera pergi dan tak boleh menganggu. Dia mengayuh sepedanya kembali ke pantai.

***

“Hai…,” sapanya sigkat.
Sheryl berpaling melihat siapa yang datang.
“Jannet. Duduk sini,” meminta.
Mereka ada di dermaga, siang itu.
”Aku nggak nggangu, kan?”
Sheryl melepas headset dari telinganya. Dan menggeleng.
“Nggak apa-apa, lagian aku juga baru nggak nerjain apa-apa, kok. Duduk!” ulangnya lagi.
“Nggak ikut yang lain main?”
Sheryl tersenyum jenaka dengan sikap Jannet. Tiba-tiba ingin ngobrol dengan bahasa yang menyudutkan.
Jannet menyahut, ”Hey, ada apa nih?”
”Ah, nggak,” menyadarkan lamunanya. “Ada apa? Tumben ke sini. Maksudku nemuin aku? ”
”Panas banget, nih,” tak langsung menjawab.
”Hmmm, kayaknya kamu sekarang jarang sama Ralph, ada apa?” penasaran. ”Maaf! Bukannya aku mau ikut campur urusan kalian, lho. Aku cuma bingung aja dengan sikap kalian berdua.”
”Nggak apa-apa, aku....,” tak dilanjutkan. ”Sudah ah, nggak perlu dibahas deh kayaknya. Oh, iya? Ngomong-ngomong gelang yang kamu pakai mirip sama punya Ralph, ya? Kebetulan banget, tuh.”
Sheryl tergagap sejenak, “Ini…? Ini punya aku. Ini milikku, diberi sahabatku.”
Sheryl terpaksa harus membohongi Jannet. Soalnya kalau dia mengatakan hal yang sebenarnya pada Jannet, dia takut kalau masalah kecil itu malah membuat hubungan Ralph dan Jannet jadi renggang. Juga takut kalau Jannet memusuhinya gara-gara gelang itu. Ya, lagi-lagi harus membohongi orang.
Senyu tersungging di wajah Jannet, “Mmm…kamu kompak banget sama Ralph, ya?”
”Lho, tentang?”
”Gelang itu. Aku tau kok Sher, kalau itu dari Ralph, kan? Nggak perlu ngerasa canggung, deh. Lagian nggak akan bikin kita musuhan.”
Kata-kata maaf tak dapat keluar dari bibirnya. Sheryl cukup malu dengan terbongkarnya hal itu. Tapi, dia tetap mengelak.
”Nggak. Lupain aja.”
Sheryl sebenarnya tahu perasaan Jannet yang disembunyikan. Kecewa, sedih, marah. Tapi, yang pastinya, perasaan itu ada.
”Kamu akrab banget sama Ralph, ya?” memainkan air dengan kakinya.
Mata Sheryl mengambarkan kegelisahan. Kenapa Jannet harus memojokkannya dengan obrolan seperti itu.
Masih ada yang ingin dikemukakan, ”Apa sih benarnya hubungn kalian sekarang?”
Lagi-lagi Sheryl harus dibuat deg-degan, ”Hubungan kami? Kami cuma teman biasa, kok. Memang apa yang kamu harapin dari kami?”
Jannet tak menjawab. Sheryl pun tak ingin mengungkitnya kembali.
”Nggak apa-apa!”
Hati Sheryl menjadi kian canggung. Dari perkataan Jannet barusan sudah membuktikan kalau dia hanya harus menjadi teman biasanya saja. Oh ya, lagi pula apa yang akan terjadi diantara Sheryl dan Ralph kalau bukan hanya sekedar berteman, kan?

“Udah! Aku nggak mau!” tolaknya.
”Kamu harus ngantar kami belanja, Sher!” paksa temannya.
Salah satu membela, ”Iya! Lagian apa sih yang kamu kerjain sekarang? Nggak ada, kan?”
”Nggak mau!” bersikeras duduk di sofa ruang tengah vila.
”Daripada nganggur! Mendingan buat amal, Sher!”
Sheryl tersadar dengan omongan temannya barusan.
“Bentar, bentar! Apa artinya memberi tekanan pada kata “Daripada nganggur”? hah?!”
Semuanya diam. Sheryl kembali tenang.
Teman-temannya menanti beberapa saat, tanpa bicara dan terus menatap dengan pandangan dingin pada Sheryl yang tetap dengan keputusannya.
Sheryl mulai mengubah posisi duduk karena salah tingkah.
“Baik, oke!”
Bersamaan tertawa dan mengumam sesuatu, karena sudah berhasil mengerjainya.
“Ihhh sebal ….! Kalian nyoba ngintimidasi aku, kan?”
”Kamunya aja yang plin plan. Hanya digituin aja kok berubah pikiran,” meremehkan.
Sheryl mengambil kunci mobil di kamarnya, lalu berjalan di depan teman-temannya menuju parkiran.
”Jangan lama-lama, lho! Kalau lama, nanti pulang sendiri!” melihat satu per satu temannya masuk ke mobil Sport warna silver.
”Nggak lama kok...cuma yaaaa... sekitar nggak lebih dari 4 jam aja,” sahut salah satu dari keempat temannya.
”Kalau gitu, nanti, akau jadi lihat kumpulan cewek pulang malam-malam nenteng tas belanjaan, nih.”

Mobil berhenti dan menepi. Satu per satu teman-temannya turun dan langsung menyebar, bubar entah ke mana.
Mereka masuk ke toko yang mereka tuju, tanpa mengatakan apa-apa pada Sheryl. Bahkan ucapan terima kasih. Sheryl masih duduk di mobil. Dia ditinggal sendiri.
“Harus buat asuransi jiwa kalau kesabaranku udah habis.”
Dia mulai bosan. Kakinya melangkah ke luar mobil, dan berjalan ke toko souvenir sambil melihat-lihat barang yang dipajang di etalase toko. Sudah puas, dilanjutkan ke toko sebelah. Toko bunga. Dia memilih-milih bunga yang diletakkan di depan toko.
”Bunga Matahari,” memegangi. ”Bunga kesukaanku.”
Seseorang tiba-tiba menyapa. Tanpa melihat si penyapa, Sheryl langsung menyahut, karena sudah hafal suara orang itu.
”Kamu udah hafal sama aku, tuh. Nggak bisa bikin kejutan lagi dong!” menggerutu. ”Lagi ngapain sendirian di sini?”
“Kamu bisa lihat nggak?” masih tak memandang Ralph.
”Bisa!”
“Ngerjain hal mbosenin,” matanya sudah melihat Ralph.
Di samping Sheryl, Ralph berdiri membawa makanan siap saji, sembari satu per satu memasukkan kentang goreng ke mulutnya dan menyerusup MilkShake.
“Dan kamu?”
“Aku baru lihat kamu nglakuin hal mbosenin.”
Tangan Sheryl ringan melayang ke bahu Ralph. Dia kembali memandangi bunga di depannya.
“Kamu suka?”
Kepala Sheryl menggeleng.
”Bohong?”
Dia menggeleng lagi. Tetapi, matanya masih memandangi bunga itu.
”Nggg...aku pergi dulu, ya? Sampai jumpa di pantai. Daaa....,” berjalan meninggalkan Ralph, yang sekarang malah gantian mengamati bunga.
Sheryl berpaling, keheranan kenapa Ralph tak membalasnya. Sheryl tambah keheranan saat melihat Ralph mengamati bunga yang tadi dilihatnya. Dia jalan lagi.
“Ya, ampun! Dasar cowok aneh,” gumamnya mengangkat bahu dan pergi.

“Kalian udah selesai belum?” menanti di samping meja kasir.
Tak satu pun menjawab. Sheryl merasda bosan. Dia mengikat tali sepatu ketznya yang sengaja tak diikat karena buru-buru.
”Udah belum?”
Tak ada yang menjawab.
”Udah belum, sih?!”
”Ya, ampun! Kamu nyebelin banget, Sher!” gerutu salah satu.
”Ayo pulang sekarang!” berjalan ke luar toko.
Gadis itu sudah duduk di mobil saat teman-temannya sedang membayar. Matanya masih sibuk bertualang melihat-lihat keramaian tempat itu. Sampai…
“Lho, kok ada ayah!”
Sheryl turun dari mobil dan menyeberang ke sisi jalan lain.
“Di tempat itu lagi? Ngapain, sih?”
Baru, ketika Sheryl sampai di pintu kaca café kemarin, dia melihat seorang wanita duduk di depan ayahnya. Sheryl menghentikan langkahnya.
“Sama orang itu lagi? Benarnya lagi ngapain, sih? Kok aku dikit ragu ya, kalau mereka cuma temennan aja.”
Belum sempat Sheryl mendorong pintu dan masuk ke café, teman-temannya berteriak memanggil.
“Sheryl…! Mau ke mana? Katanya ngajak balik!”
Sheryl berpaling. Benaknya, Ingin menghampiri sang ayah, tapi kenyataannya, teman-temannya mendesak mengajak kembali.
“Aduhh…!” bingung mau pilih yang mana. “Udah deh..…,” kembali ke teman-temannya.
”Kamu mau ke mana, sih? Katanya ngajak balik, kok main sendiri.”
Mobil dihidupkan dan lalu Sheryl memacu kembali di jalan menuju ke pantai. Tadi, dia lihat ayahnya ngobrol dengan wanita itu.
Kini mobil berhenti di parkiran.

“Aku mau istirahat dulu. Kalian main aja sendiri.”
Sheryl menghempaskan tubuhnya, setelah membuka sepatu dan melemparnya ke pojok ruangan. Matanya melihat langit-langit kamar yang terlihat kusam.
”Mungkin cuma teman kerja aja.”
”Tapi, yang bikin bingung, mereka kerja atau liburan, sih? Soalnya mereka pakai baju pantai,” ulasnya. “Pusing ah…..”
Dia sudah lelah memikirkan hal yang dilihatnya tadi. Sekarang Sheryl sudah berbaring di sofa, dekat jendela yang sengaja dibuka. Angin lembut perlahan masuk ke kamarnya. Membuat semuanya jadi lebih dingin dari udara luar. Sheryl yang kecapekan, sudah tak bisa menahan ngantuknya. Matanya mulai terasa berat untuk terbuka. Dibantu angin lembut yang menerpa, sedikit demi sedikit kelopak matanya mulai menutup. Terahir dia menguap pelan untuk memulai tidurnya.

”Ehm, jam berapa, nih?” dia terbangun, kaget karena suara daun jendela yang terhempas keras ditiup angin. ”Ampun deh....!”
Badannya terasa tak enak. Pegal-pegal. Seluruh tubuhnya dirasakan seperti baru saja olahraga seharian. Kepalanya malah pusing. Dia mencoba duduk di sofa.
“Kenapa jadi tambah pusing gini?” memegangi kepala.
Sheryl masih berusaha mengumpulkan kesadaranya, yang belum memenuhi pikirannya. Sheryl mengucek mata yang perih.
”Oaaahhhh...,” menguap. ”Berapa jam aku tidur?” bangkit, karena kesadaranya mulai kembali.
Sheryl melihat jam weker di meja samping tempat tidur.
“15.16, kayak udah tidur 100 tahun aja,” merapikan rambut yang berantakan. ”Sleeping Beauty.”
Sekarang dia sudah ada di kamar mandi. Sheryl berdiri di depan kaca wastafel. Memandangi wajahnya yang kelihatan lelah sebelum membasuhnya. Sembari sesekali menguap.
“Agak pucat,” memperhatikan setiap sudut mukanya lalu membasuhnya dengan air kran. “Mmmm….lebih segar,” beberapa kali mencipratkan air ke mukannya.

Sheryl mengganti bajunya, dia pingin jalan-jalan ke luar. Namun, belum sempat dia melangkahkan kaki ke luar pintu, sebuah buket bunga sederhana tergeletak di lantai depan pintu.
”Siapa yang ngirim, nih?” mengingat tak ada seorang pun yang mengidolakannya.
Namun, sebuah nama tiba-tiba muncul.
Senyu terlintas di wajah Sheryl. Lalu membawa masuk buket bunga ke kamar.
Ada tiga tangkai bunga matahari dalam buket. Dibungkus dengan kertas coklat yang cocok sekali. Sederhana namun, terlihat manis. Di dalamnya sebuah kartu.
“Senyum dong Sher! Masak cemberut mulu, kalau pingin bunga minta aja sama aku, ya?,” membaca tulisannya.
“Ucapannya aneh banget….,” mengolok. “Memang nggak mbakat jadi penulis. Tapi, makasih juga nih, ya?”
Sheryl mengambil vas kaca yang terisi air. Hati-hati Sheryl menaruh bunga itu ke dalam vas. Lalu menyusun biar rapi dan kemudian vas itu ditaruh di dekat jendela, agar terkena sinar matahari.
”Bagus!”
Menepukkan kedua tangan yang tak berdebu.
”Oke, deh!” berjalan ke luar.

***

Dia sedang jalan-jalan, di sekitar pertokoan yang berlawanan arah dari tempatnya biasa berjalan-jalan. Sudah pukul 10.48, Sheryl berharap tak akan melihat ayahnya bersama dengan wanita kemarin di sekitar sana. Tapi, mungkin kalau hanya ketemu dengan ayahnya seorang diri saja dia tak keberatan.
Pemandangan pantai Dover dari sana kelihatan lebih indah. Soalnya gedung-gedung di sana didominasi oleh hotel, griya tawang, apartemen, vila, restoran, dan banyak café-café. Tapi, khusus untuk vila tempat Sheryl dan teman-temannya menginap, berada tak jauh dari pantai.
Karena merasa seseorang mengikutinya, Sheryl berbalik. Dia dikejutkan dengan seseorang yang berdiri di belakangnya.
”Lho, mau ke mana, Sher?”
“Eh, ayah ngapain di sini?” melihat heran. “Kok pakai pakaian olah raga?”
”Kamu lihat, kan? Ayah lagi jogging,” sahutnya. ”Yuk!” mengajak Sheryl berlari.
Sheryl mengikutinya. Mereka berlari-lari bersama di sepanjang jalan itu. Kebetulan tadi Sheryl juga mau olahraga.

”Enak nggak?” memperhatikan ayahnya makan.
”Lumayan. Pilihanmu, kan?”
”Ayah harus makan makanan kayak gini,” menasihati. ”Salad memang sehat buat ayah. Ayah kan udah tua, jadi harus makan yang sehat-sehat, ya?”
” Kamu jadi kayak ibu-ibu aja.”
Entah kenapa dia dapat melupakan kejadian kemarin. Saat itu dia bisa menikmati suasana berdua saja dengan ayahnya tersayang. Hubungan itu kelihatan seperti hubungan ayah dan putrinya, yang sangat Sheryl harap. Andai saja setiap hari dia bisa sarapan bersama dengan ayahnya seperti saat itu.
”Coba, Sheryl makan ini!” menyodorkan potongan mentimun ke bibir Sheryl.
Sheryl melahap dan mengunyahnya dengan nikmat, ”Enak, kok!”
”Ayah boleh coba spagettimu, kan?”
”Nggak boleh! Ini nggak sehat buat ayah.”
“Uuuh, kamu kan udah makan salad ayah. Kamu sekarang berubah kayak nenek-nenek.”
Mereka tertawa. Obrolan itu tak berlangsung lama. Karena seseorang keburu datang.
”Selamat siang, maaf menggangu....”
Sheryl dan ayahnya berpaling, “Selamat siang,” berbarengan.
”Sheryl, ya?” duduk di antara Sheryl dan ayahnya.
Dia wanita yang ahir-ahir itu bersama ayahnya. Tanpa sempat menjawab, pembicaraan sudah dialihkan.
”Eh, Cindy? Mau ke mana?”
”Cuma jalan-jalan aja, kebetulan lihat kalian di sini,” sahutnya. ”Oh iya Drew, putrimu kan?”
Ayah Sheryl mengiyakan. Dia langsung memperkenalkan.
”Cindy Oliver, rekan kerja ayahmu.”
”Ya, dan aku....,” terpotong.
”Sheryl Ridley, kan?”
Tersenyum menahan sesuatu yang mendongkol, “Anda sudah tau.”
“Kamu cantik kayak Eliza, ya?”
Ayahnya menyahut, “Ya, jelas. Dia kan putrinya.”
Sebuah senyuman canggung tersungging di wajah Sheryl.
Nona Oliver, dia rekan kerja ayah Sheryl. Sebenarnya wanita yang ramah. Bicaranya lembut. Belum lama, dia kembali ke Inggris setelah beberapa tahun tinggal di luar negeri dan bekerja di sana. Nona Oliver dulu sahabat ayah Sheryl. Kesan pertama yang Sheryl dapat dari wanita ini adalah, kurang menyenangkan.
“Kamu ngerasa belum pernah ketemu sama dia, ya?”
Sheryl tersenyum.
”Beberapa hari setelah ayah dan ibumu menikah dulu, aku pindah ke luar negeri. Jadi baru pertama kali ini juga aku lihat kamu.”
Sheryl mengerti. Menurutnya wanita itu baik dan ramah . Tapi, entah kenapa Sheryl merasa tak nyaman saja di dekatnya.
”Kamu kuliah semester berapa?”
”Baru kelas 3 SMU, kok,” mendapat kesempatan bicara.
”Oh, baru SMU? Kupikir udah kuliah. Gimana ujian kemarin, sulit nggak?” mengusap rambut pirang Sheryl.
”Lumayan.”
Hatinya tambah tak nyaman. Sheryl Ingin sekali bergegas pergi dari tempat itu. Ayahnya sudah tak lagi memperhatikan, dia sibuk dengan nona Oliver. Membuat Sheryl jadi kesepian.
”Permisi,” memotong pembicaraan Ayahnya dan nona Oliver. ”Maaf, aku harus balik ke pantai, nih.”
”Lho, kok buru-buru?”
”Aku ada janji sama temen-temen,” bohong untuk lepas dari situasi membosankan itu.
Saat itu dia bohong bukan demi orang lain, tapi, untuk dirinya sendiri.
”Sayang ya, padahal aku masih ingin ngobrol sama kamu, lho. Tapi, nggak apa-apa, anak muda sekarang memang lebih butuh temen-temennya dari pada orang tuanya.”
Ayahnya dan nona Oliver tertawa.
Sheryl tambah jengah mendengar lelucon, yang menurutnya tak lucu itu. Apalagi dalam suasana yang agak kaku seperti itu, menurutnya.
”Sampai jumpa.”
Sheryl berjalan ke luar café. Jalannya sedikit dipercepat, soalnya dia merasa semakin tak nyaman kalau berlama-lama di tempat itu.
”Kenapa sih selalu aja nggangu kalau lagi sama ayah?”
Itu adalah awal dimana Sheryl mulai tak menyukai nona Oliver. Dalam hatinya nona Oliver sulit untuk diterima meski sifatnya lembut.

Kaleng bekas softdrink yang sudah habis diminumnya, dilempar begitu saja ke tempat sampah. Hampir saja Ralph yang kebetulan lewat saat itu kena.
”Hey! Ada apa, nih?” refleks menghindar.
“Maaf ya? Aku nggak sengaja,” menahan sebal.
Ralph mengungkap kebingungannya, ”Kok kelihatannya sebal banget.”
Sheryl melihat keheranan, ”Sebal? Nggak kok biasa aja, lagi,” bohong, tapi wajah cemberutnya tak bisa disembunyikan. Malah jelas kelihatan.
”Oh, begitu, yaaaaa…..?” goda Ralph pingin membuat Sheryl tambah sebal.
“Sok tau banget! Sudah ah, aku pergi!” berlari ke dermaga tanpa membalas godaan Ralph.
Pemuda itu hanya mengerutkan dahi dan mengangkat bahu saja, sembari berlalu tak mengerti.
Disertai perasaan yang masih kesal, Sheryl sembarangan duduk sampai-sampai tak lihat lantai kayu dermaga basah. Tentu saja dengan masih bersungut-sungut. Wajahnya kelihatan merah padam. Kedua kakinya kasar memainkan air, sampai bajunya basah kena cipratan.
“Uuh, sebal!” terengah-engah. “Ya, ampun capek juga bersungut-sungut itu,” menghirup udara segar dan mencoba menenangkan hatinya. “Memangnya kenapa sih aku harus bersikap kayak gini?” mulai mempertanyakan sikapnya yang dirasa bodoh.
Jari telunjuknya menggaruk kepala, yang tak terasa gatal. Rambutanya jadi berantakan.
“Mereka kan cuma rekan kerja aja? Apa sih yang akan terjadi kalau hanya sebatas temen kerja?”
”Ihhh, bego!” mengolok diri sendiri. ”Enakan main aja, deh.”

Beberapa detik kemudian, Sheryl sudah ada di lepas pantai. Hanya ada kapal layar, pemain ski air, atau pemain Jet ski sepertinya. Peselancar saja hanya di ombak bagian pantai yang dangkal. Selebihnya cuma air laut yang membiru.
“Anginnya keras,” mematikan mesin Jet ski dan mengambang melihat pemandangan pantai dari sana.
”Ini baru yang namanya bebas....!” memacu Jet skinya dengan kecepatan tinggi.
Dari belakang seseorang mengejarnya.
“Hey, pelan-pelan aja, Sher!” sarannya. ”Suka ngebut, ya?” Jannet berhenti di samping Sheryl.
”Ha...ha...ha...,nggak juga sih. Cuma pingin aja.”
”Lautnya luas banget, yaaaa.”
Sheryl mengangguk, ”Tapi, anginnya keras banget,” menambahi, sambil menutupi wajahnya dari terpaan angin.
Perasaan Sheryl terasa bebas. Kesempatan untuk menikmati saat itu tak dilewatkannya, soalnya suasana seperti itu tak akan didiapat Sheryl waktu di rumah.
”Sher! Kamu ketinggalan!”
Terjaga dari lamunnya, dia melihat Jannet sudah melaju jauh di depannya.
“Kamu curang, tuh!” memacu dan mengikuti. “Kamu nggak bisa ngalahin aku.”
Jannet tersusul.
“Lihat nggak aku ngalahin kamu, kan?” melewatinya.
Sebuah senyum lembut terlintas di wajah Jannet, “Bahkan untuk ngrebutin Ralph, aku juga masih kalah sama kamu, kan?”
“Ya?!! Tadi kamu ngomong apa?” pendengaranya terganggu karena suara angin di sekelilingnya. ”Aku nggak dengar, nih!”
”Nggak jadi! Balik, yuk!” ajak Jannet.

Sehabis membilas bersih tubuh Sheryl yang terasa lengket karena air laut, dia berjalan ke mini market untuk membeli camilan.
“Nih, buat kalian,” melempar sekantung keripik kentang ke tangan salah satu temannya.
”Kamu dari mana aja?” mengacak-acak isi kantong kertas coklat itu.
”Mau tau aja!”
”Yeee, ditanyain baik-baik kok malah sewot gitu, sih?”
”Jalan-jalan. Boleh pinjam nggak?” mengambil kacamata hitam di kursi sandar.
Salah satu memberi isyarat.
Sheryl membaringkan tubuh di kursi sandar, ”Uhmmm.... aku capek banget. Jam 14.55.”
Sedikit demi sedikit tak sadar dia memejamkan mata.

”Ketiduran, nih,” membuka mata, melihat teman-temannya sudah tak ada. ”Lho, pada ke mana?”
Matanya melihat sekeliling pantai yang ramai dipadati orang.
”Jam 16.00, jadi pegal tidur di sini,” memegangi tengkuk yang sakit.
Kumpulan anak muda sedang main voli pantai tak jauh dari tempatnya bersantai.

”Oke!” menyemprot bunga Matahari Ralph. ”Huuu, tau nggak? Kamu itu cowok aneh, sok tau, dan sok kecakepan,” menjentikkan jari ke kelopak bunga.
Matanya tertuju ke arah pantai yang luas.
”Udah dua bulan lebih liburanku di sini. Apa ya yang akan terjadi nanti?”
Dia mulai melamun lagi.
”Ah, hentikan!” memukul hampa udara di depan wajahnya.
Jam weker di kamar Sheryl terus bergulir. Hanya beda sekitar semenit dengan jam tangan, yang kadang-kadang saja dipakainya. Dan beda sekitar setengah menit dengan jam dinding kamar. Sinar matahari merambat miring, menerobos jendela. Pertanda hari sudah sore.
“Temen-temen masih keasyikan main. Energi mereka banyak juga,” heran dengan aktifitas teman-temannya yang berlebihan.
”Pasti punya persediaanya banyak,” dia tersenyum-senyum sendiri. “Jam 17.00, kayaknya asyik deh kalau sore-sore gini jalan-jalan.”

Seseorang memanggilnya. Dia mencari sumber suara. Melambaikan tangan dan menghampiri setelah tahu siapa yang memanggil.
“Ada waktu malam ini?”
“Buat ayah? Tentu ada dong!”
Menawari, “Mau ikut sama ayah?”
Dengan wajah penasaran, “Ke mana?”

Setelah makan malam di sebuah restoran.
”Kenyang, kan?” menghabiskan hidangan penutup. ”Habisin dulu. Terus nanti kita mau ke mana lagi?”
Tambah bingung, ”Lho, ayah nggak kerja? Tumben banget.”
”Kebetulan nona Oliver lagi ada urusan di luar kota, jadi malam ini ayah bisa istirahat. Gimana masih mau main?”
Sheryl tersenyum kecil. Dalam hati dia bersyukur. Berarti tidak akan ada orang datang menggangu.
“Hey, pingin ke mana?”
Tanpa menghiraukan omongan ayahnya, ”Aku cuma pingin sama ayah aja. Ayah tau nggak? Aku kangen banget sama ayah.”
”Kalau gitu.....”
Sore itu, berdua saja mereka menghabisakan waktu. Dengan ngobrol, jalan-jalan, bercanda, dan hal menyenangkan lain. Semalaman mereka asyik melihat-lihat souvenir yang tersusun rapi di etalase toko. Masih belum ada satu barang yang menarik perhatian mereka.
Sheryl dan ayahnya ngobrol di depan toko mainan, sambil melihat mainan-mainan yang dipajang di sana.
”Liburan kamu asyik banget deh kelihatanya. Kamu dapat temen baru, kan?”
”Yang beri aku ini,” menunjuk gelang pemberian Ralph.
“Gadis?”
Sheryl menggeleng, kecewa.
“Aduh! Anak ayah ternyata benar-benar udah gede, ya?” ayahnya tertawa jenaka, salah menafsirkan maksud Sheryl.
“Bukan gitu? Maksud ayah gimana, sih?”
Sebuah senyum berarti mengejek tersungging di wajah ayahnya, “Pacarmu, kan?”
Sheryl terkaget-kaget, “Pacar? Bu….bukan yah dia cuma temenku aja, benar!” tergagap lalu berpaling.
”Masa, sih? Coba lihat wajah kamu? Tuh, merah.”
”Udah deh......!”
Pembicaraan aneh itu diahiri.
”Lucu tuh, yah!” mengamati beruang ’Teddy’.
“Boneka itu?” heran. “Kamu udah 17 tahun, sayang,” mengacak rambut putrinya.
“Lho, memang gadis 17 tahun nggak boleh main boneka, ya? Nggak apa-apa, kan?”
Ide bagus mucul di benak ayahnya, “Mau ayah beliin?”
”Nggak usah ah aku cuma komentar aja, kok,” berpaling dan berjalan mendahului.
Orang yang diharapkan sudah ada di sampingnya, tak kunjung tiba. Karena bingung, Sheryl berpaling.
”Ah..., ayah! Pasti tertarik sama souvenirn yang aneh-aneh, deh.”
Sheryl terus berjalan, tak menghiraukan ayahnya yang belum juga menyusul.
Beberapa menit berlalu. Sheryl duduk sendirian di sebuah kursi taman yang ada di tepian jalan.
“Ayah ke mana aja, sih?”
”Ngambil barang ayah yang ketinggalan di mobil, tadi,” beralasan.
“Kita jalan lagi!”

Malam sudah larut.
”Udah jam 22.10, yah! Pulang sekarang aja yuk!”
“Hmm, oke. Kita balik ke mobil. Kamu juga udah kelihatan ngantuk.”
Saat sampai mobil.
”Maaf ya ayah ngajak kamu jalan-jalan sampai selarut ini.”
”Tapi, aku senang, kok.”

”Malam, ayah. Makasih lho buat makan malam dan jalan-jalannya?”
Tapi, ada sesuatu yang terlupakan, ”Tunggu dulu! Bentar, ya?” menghentikan Sheryl yang berjalan kembali ke vila.
Ayahnya membuka pintu belakang mobil. Sesuatu dikeluarkan dari sana.
Memberikan sebuah kado besar, ”Untuk kamu.”
Sheryl jadi penasaran. Kado besar? Apa isinya?
”Buka saja!” pinta ayahnya.
Sedetik kemudian.
”Lho, beruang ’Teddy’ yang tadi. Ayah beli buat aku?”
“Bukan beruang ‘Teddy’ Sher, tapi beruang ‘Daddy’. Ayo, masuk sana!”
Sheryl berlari ke vila dan langsung ke kamarnya, setelah sejenak mengucapkan selamat malam pada ayahnya. Dia memeluk beruang pemberian ayahnya, membelainya lembut, dan kadang mencubitnya karena gemas.
Bentuknya tak terlalu berlebiahan. Warnanya coklat tua, bulunya lembut halus, dan pita merah jambu manis melingkar di lehernya. Benar-benar membuat gemas.
”Kamu imut banget, sih?” pujinya menguap. “Eh, aku kan udah janji sama diri aku, buat nggak nerima apa aja barang mahal dari ayah.” Sheryl jadi ragu. ”Nggak apa-apa aja, deh! Lagian ini pasti juga nggak mahal, kan?”
Selamat malam ’Daddy’.

***

”Sini!” tiba-tiba menarik tangan Sheryl, ”Main voli, yuk?”
”Voli?” sahutnya.
Anggukan dari Jannet memperjelas. Dia terus menariknya masuk ke lapangan.
Menjabat tangan Sheryl, ”Kita satu tim!”
Mata Sheryl meneliti orang di lapangan seberang. Memeriksa siapa yang akan jadi lawan mereka.
”Bentar, bentar. Mereka lawan kita?” Sheryl menunjuk.
Di sana, Ralph tengah berdiri memalang tangan dan berjalan mendekati Sheryl dan Jannet.
”Jadi, lawan kami cewek-cewek, nih?” meremehkan.
Tangan Ralph mencengkram net dan memandang rendah mereka. Senyum meremehkan juga menyertainya. Tapi, ketiganya tahu, kalau itu hanya bercanda.
“Cewek? Yup, kita-kita cewek, kok. Kamu keberatan?” balas Sheryl dengan suara mengejek juga.
Suara Jannet juga terdengar mengolok, “Cewek! Kamu akan dilawan dua orang cewek. Menurut kamu kita-kita manis nggak?”
Menambah-nambahi kata olokan dengan pertanyaan aneh. Sebenarnya juga bertujuan mengintimidasi. Mungkin Jannet hanya sedikit salah saja. Sheryl keheranan.
“Kalian berdua manis kok, benar!” berjalan kembali ke timnya setelah melirik Sheryl.
Jannet memandang sebal bercampur kesal. Sheryl tersenyum-senyum hambar sendirian. Sudah tahu kalau Ralph orangnya seperti itu, masih juga dilayani.
“Oke, kita habisi mereka!” keduanya mengadu telapak tangan.
“Gimana cewek-cewek manis? Kita mulai, ya?” teriaknya dari seberang.
”Boleh!”
Setelah pemanasan beberapa saat, pertandingan dimulai.
Servis pertama dari tim Ralph. Lemparan bagus mengarah ke Jannet. Dengan passing atas, bola diumpankan ke Sheryl.
“Ayo Sher, pukul!”
Bola berhasil dikembalikan ke lawan dengan smes. Melambung tak bisa ditangkis oleh Ralph. Bola jatuh di dalam lapangan lawan. Satu poin untuk tim gadis.
Awalan berpindah ke tim Jannet. Kini bola melambung ke arah kawan Ralph. Passing atas dapat mengembalikan bola ke tim Sheryl lagi. Jannet sudah siap menerima bola dan kembali mengumpankan lagi ke Sheryl. Dengan tangkisan, bola jatuh di lapangan, tim Ralph gagal lagi.
“Berapa tuh skor kalian, hah?!” teriak Jannet mengejek.
Ralph cuma tersenyum. Matanya mengerling kea rah keduannya.
”Kita berhasil menang dari mereka.”
Tangan kedua gadis itu saling bertepuk.
Mata Sheryl melihat Ralph yang bersiap menerima servis Jannet. Tak sengaja mata Ralph juga memandang. Pandangan mereka beradu.
“Sher, siap-siap, dong!” pinta Jannet.
Dia terjaga, “He’em!”
Tim gadis manis mengawali servisnya. Diterima oleh kawan Ralph dengan passing bawah, dan dilemparkan ke Ralph. Bola melesat cepat ke lapangan sebelah setelah tangan Ralph mensmes. Bola diterima Sheryl ,namun terlempar keluar. Satu poin untuk tim Ralph.
”Hebat juga,” memuji Ralph.
Sheryl tersenyum mengangkat alis dan berpaling.
Permainan dilanjutkan lagi. Tim Jannet unggul beberapa angka.
Kawan Ralph siap di posisinya untuk memulai servis. Bola melesat tinggi hampir keluar dari lapangan. Sheryl mengamati arah bola dan refleks menerimanya, sampai hampir jatuh tersungkur. Tapi, bola masih bisa diselamatkan dan kini diterima oleh Jannet. Yang kemudian kembali mengumpankannya ke Sheryl. Sheryl mencoba mensmes lompatan. Bola melaju keras ke arah Ralph.
Bola melambung tinggi ke arah Ralph.
“Hey, Ralph, bolannya!” teriak Jannet mengagetkan.
Ralph terjaga dari lamunannya. Dia mengamati bola yang melambung ke arahnya.
”Ralph....!” pekik kedua gadis itu.
Sheryl menutup wajahnya dan Jannet memalingkan matanya. Sementara bola masih melambung ke arah Ralph. Lalu.…
Brukkk!
“Aduhhhh…!” dia jatuh terduduk di pasir.
Keduanya menghela napas setelah kejadian, ”Ya, ampun! Ceroboh banget, ya?”
Terlambat menghindari bola. Ralph duduk memegangi pelipis kanannya, menahan sakit di kepala. Wajahnya terkena pasir. Lalu sejenak mengucek-ucek matanya.
”Aduh! Kayaknya parah, deh!”
Sheryl berlari mendekat sebelum Jannet. Jannet yang tadi ingin menghampiri, mengurungkan niatnya karena melihat Sheryl telah duluan. Dia berdiri memandangi mereka dari kejauhan.
”Hey, Ralph! Ralph kamu nggak apa-apa?” memegang tangan Ralph yang masih menutupi pelipis.
”Ya, ya nggak apa-apa, kok.”
Sheryl duduk berjongkok di depannya. Yang lain hanya berdiri merubung. Sedang Jannet masih mematung dan sedikitpun tak berkeinginan untuk mendekat.
”Ralph? Hey, benar kamu nggak apa?” melihatnya masih memegangi pelipis.
”Benar, cuma pusing aja. Bentar lagi juga sembuh.”
Tangannya tak lagi memegangi pelipis. Tapi, malah sibuk mengucek-ucek matanya yang perih.
”Kenapa? Apa kemasukan pasir?”
”Iya, deh kayaknya.”
”Sini, coba aku lihat,” menarik tangan Ralph.
Mata Sheryl meneliti mata Ralph. Dari jarak sedekat itu, dengan jelas Ralph bisa melihat Sheryl yang panik dan bingung.
”Coba sini!”
Tangan Sheryl menyentuh wajah Ralph. Lalu mendekatkan mata Ralph ke bibirnya.
’Deg’
Sebuah detak aneh tiba-tiba muncul begitu saja di jantung Ralph. Ketika Sheryl meniup pelan mata Ralph yang perih. Saat tangan putih itu memegangi wajahnya. Kini Ralph tak lagi merasakan perih, karena matanya terfokus ke wajah Sheryl yang dekat ke wajahnya. Amat sangat cantik terlihat sedekat itu.
Meski sedetik, tapi perasaan asing itu masih membekas di hati Ralph. Apa ya?
”Udah. Kamu nggak apa-apa?” tangan Sheryl masih memegang dan membersihkan pasir di wajah Ralph.
Masih tak ada respon darinya, “Uu…udah kok, udah aku udah baikkan.”
Sheryl melepas kedua tangannya dari wajah Ralph. Saat itu Ralph jadi salah tingkah.
“Maafin aku, lho?” duduk berjongkok di depan Ralph.
Wajah Sheryl kelihatan antusias dengan sebuah senyum, menanti jawaban dari Ralph. Senyum itu membuat kedua mata indahnya sedikit terpejam. Saat itu juga kembali Ralph tak dapat berkata-kata.
“Kamu nggak mau memaafin aku, nih? Wah, jahat juga ya kamu.”
”Iya, iya, ah. Nggak apa,” katanya gugup.
”Aku nggak sengaja. Kamu sih tadi melamun. Memang ngelamunin apa?”
Sheryl bercanda.
Jadi tambah salah tingkah, ”Eh, nggak. Aku nggak ngelamun!”
Memukul lirih kepala Sheryl dan tersenyum untuk menyembunyikan kegugupan. Sheryl beranjak dan berdiri mengulurkan tangan. Senyum mengembang di wajah Ralph menerima uluran tangan itu.
”Oke deh jagoan. Masa gitu aja nyerah!” kata Sheryl.
Sementara Jannet, berdiri mengamati mereka. Belum lagi kejadian yang baru saja terjadi di depan matanya. Membuatnya tak ingin beranjak karena kesal. Wajahnya tak bisa dipalingkan. Terus ke arah dua anak manusia yang berdiri di seberang lapangan. Tertawa-tawa, tersenyum-senyum, saling bercanda. Membuat hatinya kian panas, ingin meledak.
“Nyebelin!” geramnya.
Pandangannya menajam. Tangan dan wajahnya tegang seperti menahan sesuatu. Tapi, setelah menghela napas.
“Hmmphh…,” menutup mata. “Aku kayaknya harus pergi dari sini, deh,” meninggalkan arena.
Ralph yang masih mengacak-acak rambut Sheryl, memperhatikannya pergi. Jannet berlari ke café. Dia baru sadar kalau di sana ada Jannet. Melihat semuanya, sejak awal.
“Bentar, ya?” melepas tangannya, lalu berlari mengejar Jannet.
Baru sadar, kalau Sheryl melakukan hal bodoh seperti itu di depan Jannet. Jadi ingat dengan cerita Ralph tentang Jannet di café dulu.
“Jannet?” tersadar dengan semua yang sudah dilakukannya, “Eh, ya ampun…”
Sheryl ingin mengikuti Ralph. Tapi, takut kalau keberadaannya hanya akan menambah masalah jadi lebih runyam lagi.
Duduk menanti Ralph di pantai, dengan perasaan harap-harap cemas.

”Hai, gimana? Udah baikan, kan?” menyahut karena tahu ada yang datang.
”Aku....baik-baik aja, kok. Hanya masih sakit dikit.”
Jannet mengangguk. Dia tahu kalau Ralph baik-baik saja. Soalnya kan sudah dapat ’obat’.
Mencairkan suasana, ”Mau minum sesuatu nggak?”
Wajahnya tak kelihatan kesal. Meski hatinya terasa gemuruh bercampur aduk jadi satu.
”Kamu nggak apa-apa, kan?”
Jannet melihatnya, bingung, sembari menyuap sepotong Burger keju.
“Lho, maksud kamu apa, sih? Bukannya kamu yang jatuh. Kok malah nanya keadaan aku?”
”Udah, deh. Aku lihat kamu, kok!” ujarnya serius.
Jannet diam.
”Kamu nggak apa-apa?”
”Pasti tentang Sheryl, kan?” menghentikan makannya.
Suaranya jadi datar. Tak ada ekspresi di wajah Jannet. Tatapan matanya dingin.
“Aku nggak mau ikutan! Itu kan urusan kalian,” beranjak, tapi tangan Ralph mencengkram lengan Jannet.
Jannet memberontak, “Apaan, sih?”
“Jadi, kamu udah mulai nyuekin aku, nih?”
Memperjelas, ”Mananya yang nyuekin?”
”Kamu kayaknya sudah nggak peduli sama aku lagi.” melepaskan tangannya, Jannet kembali duduk.
”Tentang apa?”
“Jadi, kamu udah mulai nggak percaya sama aku lagi?”
Jannet memandang kesal, ”Buat apa? Kamu juga udah nggak pernah peduliin aku lagi, kok. Udah nggak pernah jujur, ngajak ngobrol, cerita, main. Bukannya kamu yang sekarang nggak percaya sama aku?”
“Aku kan cuma….,” Tak dilanjutkan. “Sulit ngomong sama kamu.”
”Ooh gitu, ya? Jadi, kamu nyalahin aku karena nggak dapat alasan ngelak lagi, gitu? Kamu aneh, Ralph!” mulai marah.
Jannet tak lagi menghiraukan. Ralph juga diam.
”Terserah kamu aja, deh. Aku juga udah capek sama semuanya,” kata Jannet mengalah dan beranjak.
“Jadi, kamu juga udah lelah sama persahabatan kita, ya?”
Hati Jannet tersentak. Jalannya tak lagi dilanjutkan. Dia berdiri, terpaku, mendengar kata Ralph tadi. Matanya memandang lurus ke depan.
“Ya, udah!” Ralph bangkit.
Ralph berjalan melewati Jannet yang masih berdiri, melihatnya pergi.
“Eeehh, Ralph!” mengejarnya.
“Apa?” melihat Jannet. “Jangan lari-lari gitu, dong. Katanya capek?” menyindir.
”Ehh, masak kamu serius sih bilang mau pertaruhin persahabatan kita?”
Ralph tajam memandang.
”Kamu aja serius bicara kalau kamu capek. Memangnya aku juga nggak bisa ngomong serius?”
Jannet terdiam.
”Maaf, maafin aku, deh?”
Ralph membisu.
”Ralph.....?” dengan sedikit nada rayuan anak kecil.
Sikap Ralph melunak. Tak tega mendengar penyesalan temannya itu. Mungkin karena sifat itu juga yang membuat Jannet betah dengan Ralph.
”Aku cuma kesal aja lihat Sheryl dekat sama kamu.”
”Kamu tau nggak?” berbalik dan memandang Jannet. ”Sebuah persahabatan yang tulus nggak akan pernah rusak cuma karena masalah kayak gitu.”
Senyuman mengembang di wajah Jannet, ”Jadi, persahabatan kita nggak akan putus?”
Senyuman kecil terlihat manis di bibir Ralph.
”Ya, nggak lah!” menepuk bahunya.
”Makasih,” memeluk Ralph.

***

“Duh, kangen ayah lagi, nih! Lagi ngapain?”
Matahari hampir tenggelam. Jam sudah menunjuk pukul 17.50. Sheryl berjalan menuju apartemen ayahnya. Sebelumnya, dia mampir dulu karena melihat hal menarik.
“Oh ya, aku harus beli sesuatu buat Ayah,”
Dia berjalan ke toko buah-buahan. Melihat buah Melon, Apel, Anggur, dan macam-macam buah lain di etalase.
”Apel! Ayah kan suka apel.”
Sekarang dia melanjutkan jalannya, setelah membeli beberapa buah apel untuk ayahnya.
”Ini dia apartemannya,” memandang gedung tinggi yang berdiri tegak di hadapannya.
Dia naik lift dan menuju lantai dua.

“Nomor 7.”
Sheryl mengetuk pelan daun pintu apartemen, yang tertulis sebuah nomor ruangan. Masih belum ada yang membuka. Diulangi sekali lagi, terdengar langkah kaki dari dalam ruangan. Saat ayahnya buka, ingin Sheryl langsung memeluk.
“Sore….eh…,” matanya terbelalak kaget melihat bukan ayahnya yang membuka pintu. Tapi, orang lain.
”Sore…….” balasnya lembut. “Eh, Sheryl sini masuk….,” pintanya
Sheryl mengikutinya dengan kekecewaan yang juga menguntit. Suasana hatinya berubah.
”Emm, nona Oliver, ayahku dirumah nggak, ya?”
”Lagi di toilet, tadi.”
Terdengar dari arah pintu kamar mandi, dibuka, ”Siapa Cindy?”
“Gadis cantik, yang khusus mencarimu,” menyebut Sheryl aneh.
Ayahnya kaget dan mulai memperhatikan.
“Sheryl. Tumben kok ke sini? Ada apa, sayang?”
”Hmm cuma pingin lihat keadaan ayah aja, kok. Oh iya, ada buah-buahan kesukaan ayah, nih!”
Apel yang di taruh di kantong kertas itu diterima oleh nona Oliver. Sheryl jadi agak sebal karena sikap orang itu. Sikap yang selalu menyerobot apapun yang dia miliki.
”Nggg, mau minum apa? Biar kuambilkan.”
Sheryl menggeleng. Selain masih kesal karena sikapnya tadi, juga karena dia tak haus.
”Nggak usah repot-repot.”
Mata Sheryl mengamati ayahnya, bingung, lalu melihat nona Oliver balik. Ingin bertanya apa yang sebenarnya nona Oliver lakukan di situ.
“Ayah, ada sesuatu yang pingin aku omongin,” melirik nona Oliver dan mendehem lirih. Sama dengan sikap ayahnya saat tak ingin diganggu.
Nona Oliver tahu, kalau kehadirannya saat itu menganggu. Buru-buru dia pamit untuk kembali ke apartemennya. Tapi, dia berjanji akan kembali menyelesaikan pekerjaanya yang masih menumpuk.
Pintu terdengar ditutup. Ayah Sheryl pun duduk di sofa.
Langsung meluapkan pertanyaanya, ”Dia kok bisa ada di sini?”
”Kami...lagi ngomongin soal proyeknya.”
”Tapi, ini kan udah sore, waktunya untuk istirahat pula. Apa nggak ada waktu lain, sih?”
Terus melihat arah pintu yang tadi dilewati nona Oliver. Memeriksa kalau tak ada orang yang mencuri dengar.
”Memangnya kenapa, Sher? Kami kan kerja.”
Ayahnya menyahut, sambil mengutak-atik lembaran kertas di meja. Sheryl menunduk.
”Ayah, dengar dulu bicaraku.”
Dia mengamati Sheryl, ”Ya udah, ada apa?”
Mata Sheryl sedikit mengerling, ”Nggak jadi!”
Sheryl jadi ngambek dan wajahnya kelihatan cemberut.
”Ayah udah makan, belum?” mengganti topik.
”Belum, tadi siang nggak sempat makan.”
Bermaksud terus menyelidik, ”Ke mana?”
Ayahnya lagi-lagi kebingungan dengan sikap putri semata wayangnya itu.
”Aku udah tahu, kok! Ayah nggak usah njawab.”
Dia tak mengatakan apa-apa. Dan Sheryl sudah tak lagi membahas tentang nona Oliver.
Obrolan tak enak berlanjut beberapa menit.

”Maaf ya, sayang?”
Sheryl hanya menggeleng, “Daaa….”
Dia berjalan ke arah lift di ujung korridor. Hari ini dia agak kecewa dengan ayahnya. Belum lagi, harus bertemu dengan nona Oliver. Orang yang ahir-ahir ini paling tak ingin dia temui.
“Nona Oliver, nona Oliver lagi. Aku bosan dengar namanya.”

Malam ini hawa dingin menusuk tulang. Ombak dan gelombang di laut memecah kesunyian malam. Suara-suara gemerisik dedaunan palem, memadu dan menyatu dengan suara-suara lain menjadi musik malam.
Hembusan angin semilir, bertiup lembut lewat jendela kamar. Membuat cincin-cincin tirai jendela kamar Sheryl beradu, bergemericik. Gara-gara angin masuk lewat celah jendela yang belum tertutup rapat. Melambai-lambaikan tirai warna kelabu. Membuat Sheryl kian merapatkan selimut dan memeluk erat beruang ’Daddy’-nya.
“Hmmhh….,” Igaunya malas membuka mata. ”Brrrrrr, dingin banget,” memaksa membuka mata.
Tirai melambai-lambai ke arahnya. Menampakkan langit malam dari lantai dua vila itu.
”Uhhh...jendela ternyata lupa ditutup, lagi.”
Gontai Sheryl berjalan, merambati ranjang, setelah sejenak menguap. Sembari masih memeluk beruang ’Daddy’-nya, dia mencoba mencari letak pasti jendela.
’Klek!’ jendela terkunci.
Sejenak Sheryl melihat keadaan di luar. Sepi. Lalu segera menutup tirai jendela kamar yang warnanya tak lagi putih. Atau mungkin memang warnanya saja seperti itu. Dia duduk di tepi ranjang. Mengamati kamarnya yang terasa lain. Padahal hanya perasaanya saja yang tengah hampa.
Sedetik kemudian tubuhnya terbaring di ranjang.

***

Sheryl terbangun karena sinar matahari, menyilaukan matanya lewat kaca jendela. Dia bangun kesiangan. Oh ya, tak ada kata bangun kesiangan saat liburan. Semua orang bebas bangun kapan saja.
”Pagi?”
Sheryl mengenali suara itu. Dia berbalik. Seorang wanita berbaju rapi berdiri di belakangnya.
”Hai...”
”Kamu punya waktu, sekarang?”

”Hmm, ada apa, ya?”
Dia tersenyum, “Jangan panggil gitu, panggil aja Cindy.”
Sheryl mengangguk dengan kikuk.
“Begini, aku tak mau kamu salah paham tentang keberadaanku di apartemen ayahmu tadi malam, ya?” katanya.
“Nggak, sungguh, aku nggak mikir apa-apa tentang anda.”
“Tapi, bisa dibaca dari matamu Sher. Kamu selalu ngerasa terganggu sama keberadaanku, kan? Benar?”
Sheryl tak sanggup menjawabnya. Tapi, dia terus mendesak. Sheryl membisu, berharap nona Oliver akan mengerti.
”Kamu selalu bersikap aneh kalau lagi ada aku, lho. Curiga deh kayaknya,” dilanjutkan.
Sheryl kelihatan heran, ”Curiga? Nggak, kok…Boleh aku ngomong jujur, kan?”
“Tentu aja karena itu yang aku pingin dari kamu.”
Sebenarnya Sheryl sedikit gugup membicarakannya, tapi dia harus agar semuanya jelas.
Kalimat-kalaimat dalam hatinya terungkap. Selama nona Oliver ada di samping ayahnya, Sheryl merasa kalau dia selalu dinomorduakan. Bukannya Sheryl membenci setiap orang yang bersama ayahnya. Tapi, tetap saja Sheryl tidak terima kalau ada orang yang membuatnya merasa terganggu.
Nona Oliver memalingkan wajahnya. Dia menyesal.
“Jadi, kamu ngerasa sendirian saat bersama kami?”
”Mungkin anda nggak ngerti aku mempermasalahkan hal sepele kayak gini,” dilanjutkan. ”Itu karena baru beberapa minggu terahir ini, aku ngerasa dekat sama ayah. Setelah sebulan aja, dia nggak pernah datang njenguk aku. Bahkan lebih.”
”Dan baru sekarang ini, aku benar-benar ngerasa punya ayah semenjak ibu meninggal.”
Nona Oliver terpaku, ”Aku nggak mikirin perasaan kamu. Maafin aku, ya?”
Waktu bergulir, mereka membicarakan hal itu. Nona Oliver tak ingin keberadaannya menganggu kebersamaan ayah dan putrinya.
”Aku juga minta maaf sama anda, kalau nuduh yang nggak-nggak.”

“Kamu tadi ngobrol sama siapa?” tanya Jannet ingin tahu. “Ibu kamu, ya?”
“Ngg..nggak, bukan!” suaranya tergagap.
Sheryl melompat masuk ke Speedboat dan duduk di samping Ralph.
Speedboat melaju. Jannet yang pegang kemudi. Sementara Sheryl dan Ralph duduk di belakang. Hati Sheryl mendadak diliputi rasa rindu. Kini hatinya hampa.
“Ada apa, Sher?”
“Nggak apa-apa?”
Ralph berpaling.
“Kayaknya ada yang nggangu kamu, deh!”
Kini Sheryl melihat Ralph, “Jangan khawatir. Aku nggak apa-apa!”
Ingin Ralph, Sheryl menceritakan semua masalahnya. Tapi, percuma, meski dipaksa Sheryl takkan membuka mulut. Dia memang gadis dengan keyakinan yang agak sulit untuk digoyahkan.
“Ya, udah.”

***

Malam-malam, Sheryl ingin duduk-duduk di pantai. Sudah sepi, soalnya sudah hampir pukul 22.00.
”Ngapain malam-malam duduk sendirian?”
Selalu dapat ditebak siapa yang datang.
“Nyari angin aja. Aku lagi bosan.”
Sheryl berpaling, ”Mana Jannet?”
Ralph keheranan, ”Jannet lagi, Jannet lagi? Kamu nggak pernah ya dikit aja nanyain aku?”
“Apa? Nanyain kamu? Kamu aja lagi di sini, kok.”
Langit malam telah menggelar bintang-bintangnya dan menaruh sepotong bulan untuk menghiasi. Terang. Angin pun mulai menghembuskan hawa dingin.
”Jannet pernah cerita apa aja sama kamu?”
”Kapan? Dimana?” malah balik bertanya. ”Maksudnya, cerita apaan?”
”Ya, waktu kalian ngobrol biasanya aja.”
Sesaat mengingat-ingat, ”Hanya obrolan tentang masalah cewek, kok.”
Wajah Ralph cemberut. Sheryl melihat perubahan itu.
“Memang apa yang kamu harapin?”
“Mungkin aja dia pernah cerita tentang kelebihan dan kebaikanku sama kamu?”
Timbul ide untuk menggodanya, ”Lebih? Baik? Apanya…?”
Ralph tertawa dan mulai mengacak rambut Sheryl lagi. Entah kenapa sikap itu jadi sebuah kebiasaan yang melekat pada Ralph. Dan Sheryl pun kelihatannya juga sudah biasa dengan perlakuan itu.
“Nyenengin punya sahabat yang tiap hari disamping kamu,” sela Sheryl tiba-tiba.
Ralph tertegun. Topik sahabat lagi.
”Kamu kan udah punya sahabat yang tiap hari ada di samping kamu?”
Pikiran Sheryl berputar.
”Donna? Dia kan nggak ada di sini.”
Senyum manis tersungging di wajah Ralph. Lesung pipinya kembali jelas terlihat. Sheryl berpaling.
“Hanya aja, mungkin dia nggak dianggap.”
Perkataan itu menyinggung Sheryl. Sheryl diam, tak ingin lagi mendengarkan lanjutan omongan Ralph.
”Coba deh, malam ini indah banget!”
Sheryl memejamkan matanya. Saat itu, Ralph kembali memandang dengan tatapan seperti saat dia terluka kemarin.
Sheryl menikmati saat itu. Merasakan angin pantai yang menyibakkan rambut blondinya. Anak rambutnya terlihat menari-nari di kening, namun, dengan cekatan dia merapikannya kembali. Matanya masih terpejam.
”Ralph?” panggilnya kemudian. ”Nikmatin suasana malam ini. Tenang banget.”
Mata Ralph terus menatap lekat-lekat wajah gadis di sampingnya. Sedikitpun tak beranjak melihat suasana di sekitarnya.
”Iya, indah banget. Sampai nggak pingin berpaling dan hati sampai nggak bosan buat ngerasain ya kan?” masih menatap lekat wajah Sheryl.
”Gadis ini, kadang bisa seceria mentari, tapi kadang bisa semurung mendung kelabu,” batin Ralph.”Kadang setenang laut lepas, tapi kadang bisa segundah ombak di pantai. Gadis ini kadang setegar batu karang, tapi kadang serapuh kerang-kerang yang terdampar.”
Dengan berbagai cara Ralph mencoba berpaling dari Sheryl. Tapi, gagal. Sampai.…
“Aku kangen sama sahabatku….,” menundukkan kepala.
”Nggak apa-apa. Masih ada aku kok di sini. Meski nggak berperan banyak juga, sih,” Ralph memandang Sheryl, walau kini bukan lagi wajahnya.
”Ralph?”
Buru-buru mata Ralph dipalingkannya ke arah lain.
“Kenapa sih kamu baik sama aku?”
Pertanyaan yang sulit dijawab.
“Karenaaa….,” menjeda. “Nggak tau deh, aku nggak tau kok sampai bisa baik sama kamu.”
Mata Sheryl kembali terpejam, wajahnya didongakkan ke langit. Dia menyebut kata ‘Aneh’. Sampai Ralph kembali merendah.
”Ralph!”
“Ahhh, cuma bercanda aja….,” menetralisir suasana.
Sheryl menyahut, “Nggak lucu!”
Mata Sheryl terpejam lagi. Dia diam. Ralph juga diam, tapi kembali memperhatikannya. Wajah Sheryl kelihatan tenang, dan nyaman.
”Ralph!” yang ketiga. ”Kamu ngelamun!” Sheryl membuka mata.
“Dari tadi kamu lihatin aku terus deh kayaknya.”
Pemuda itu baru sadar kalau Sheryl menyadari sikapnya. Wajahnya memerah. Seperti biasanya, salah tingkah, lalu diam.
Ralph mengungkapakan pendapatnya tentang Sheryl malam itu. Sementara Sheryl mengamati Ralph dengan keheranan. Tak pernah dia duga kalau Ralph begitu teliti memperhatikannya.
Tambahnya. ”Kenapa sih kamu nggak pernah mau cerita sama aku? Soalnya selalu aja sikap kamu berubah tiba-tiba, padahal kan nggak ada sebabnya,” jelasnya. ”Eh, mungkin ada, cuma ’sebab’ itu nggak pernah kamu ceritain sama aku.”
Lagi-lagi wajah Sheryl murung, ”Nggak mungkin kalau cerita sekarang.”
”Kamu nggak percaya sama aku?!”
”Bukan gitu! Aku cuma nggak siap aja buat nyeritain semua sama kamu. Aku...aku takut.”
Penasaran Ralph langsung diungkap, ”Takut? Takut buat apa?”
”Takut bua.......udah deh ntar aja,” sergah Sheryl.
”Oke! Aku tunggu kamu sampai mau cerita.”
Mereka berdua tersenyum. Tapi, hati Sheryl agak bimbang. Sebenarnya dia tak ingin kisah hidupnya diketahui orang, apalagi kisah menyedihkan.
”Lihat tuh!” menunjuk kerang, ”Kerang itu! Kamu lihat, kan?”
Mata Sheryl menurut telunjuk Ralph.
”Ini!” memberikan sebuah kerang yang bentuknya unik. ”Hati-hati, lho. Ada durinya.”
Sheryl langsung menyahutnya. Ralph memanggil dan Sheryl berpaling memperhatikan.
“Kamu jangan sedih lagi, ya?” pinta Ralph. ”Aku nggak mau lihat sahabatku, oh maaf teman. Ya, temanku sedih lagi.”
”Teman! Teman? Teman...., padahal aku kan harapin lebih. Sahabat?!”
Ralph tersenyum senang, ”Sahabat? Aku pikir kamu nggak mau....”
Sheryl cemberut lagi.
Mereka ngobrol lumayan lama. Entah sampai jam berapa. Karena masing-masing dari mereka kebetulan tak membawa jam tangan.
Angin malam terus mendinginkan hawanya. Dan air laut yang berwarna gelap di malam itu, sepertinya begitu dingin. Tapi, bulan dan bintang masih setia menemani malam yang sendiri. Mereka berkerlip-kerlip.
Sheryl mulai merapatkan jaketnya, yang sudah tak mampu menahan angin malam.
”Pakai!” tanpa Sheryl ketahui, Ralph melepas jaketnya dan memakaikannya pada Sheryl.
” Nggak mau, nanti malah kamu masuk angin,” tolaknya.
”Sudah nggak apa-apa. Baikan aku aja yang masuk angin, dari pada kamu pasti bisanya cuma ngrepotin temen-temen kamu aja.”
Sheryl mendorong tubuh Ralph. Tapi, tiba-tiba….
“Aduhhh….!” Memekik lirih.
Tangan kiri Sheryl memegangi jari tangan kanannya. Sedang kerang yang tadi dipegangnya jatuh di pasir. Di durinya ada bekas darah.
”Kamu kena durinya?” Ralph panik.
Wajah Sheryl kelihatan pucat. Dia memandang Ralph yang masih punya waktu bertanya-tanya tentang situasi yang sudah jelas dilihatnya.
”Sini! Coba lihat,” menarik tangan Sheryl.
Namun, dengan gerakan sekejap Sheryl menarik tangannya kembali, “Nggak usah, cuma luka kecil aja.”
”Sini aku lihat! Nanti bisa infeksi, lho.”
Ngeri mendengar omongan Ralph barusan, terpaksa Sheryl menyodorkan jari telunjuknya yang terus meneteskan darah.
”Eh, mau apa? Nggak boleh!” sebelum Ralph sempat memeriksanya.
Ralph hanya memandang sebal. Tapi, dalam hatinya tertawa-tawa. Gadis itu juga takut terluka. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Sheryl kembali menyodorkan jarinya.
”Darahnya harus dikeluarin, nih.”
Tiba-tiba Ralph menaruh jari Sheryl di bibirnya. Ralph berusaha mengeluarkan darah dari jarinya. Bibirnya sampai kena darah juga. Sheryl memandangnya. Dalam hati dia bergumam, kalau ternyata Ralph khawatir juga dengannya.
”Gimana? Masih perih nggak?” melepas jari Sheryl dari bibirnya.
Kini Sheryl ngeri melihat jarinya yang terus berdarah. Masih terngiang kata ’Infeksi’ yang Ralph bilang tadi.
”Sedikit. Tapi, darahnya nggak mau berhenti, nih,” Sheryl tak sadar menggeser duduknya lebih dekat ke Ralph. Sebenarnya hanya untuk melihat jarinya yang terus berdarah.
Sheryl lagi-lagi menarik tangannya, ”Nggak mau, perih!”
”Eh, bentar nanti kalau tambah parah gimana?”
”Nggak mauuu.....”
”Bentar!”
”Tapi,....”
”Tenang dulu!” pinta Ralph.
Terjadi perdebatan ringan.
“Eh, tunggu….”
”Ehhhhh.........”
Kening mereka berbenturan. Lalu sama-sama melihat mata lawan.
’Deg’
Kedua jantung anak manusia itu berhenti berdetak.
Ralph sudah tak repot dengan sikap kekanak-kanakan Sheryl. Sheryl juga sudah tak penasaran, ingin melihat jarinya yang luka. Tapi, mata mereka berdua beradu.
Masing-masing melihat jelas, dari posisi itu. Bibir Ralph kelihatan merah, karena sisa darah jari Sheryl yang belum sempat dihapus. Sedang, mata biru Sheryl kelihatan lebih cemerlang.
Lama-lama desah napas Ralph yang dulu jauh, kini terdengar dekat di telinga Sheryl. Kilauan mata Sheryl yang dulu kelihatan sayu, sekarang jelas memantulkan sinar cahaya lampu.
Keduannya jadi gugup. Waktu seperti berhenti berputar.
Apa yang akan terjadi?
Lalu, bibir Ralph yang merah karena darah, mendaratkan ciuman lembut di bibir Sheryl.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
.................
Jantung mereka berdua masih berhenti berdetak. Keduannya merasakan ciuman pertama itu. Yang kenyataannya adalah dari sesama sahabat.
Sampai, Sheryl sadar yang terjadi. Dia menarik kembali bibirnya dan mengeser duduknya menjauh.
“Hmp……,” salah satu tangan Sheryl menutup bibir.
”Ehhhhhhh.....,” Ralph gugup.
Wajah mereka bersemu merah.
Ralph sudah melepas jari Sheryl. Mereka berdua duduk menghadap laut lepas. Ada sesuatu yang tertinggal.
Ralph memberanikan memandang wajah Sheryl. Dan si gadis, juga berpaling melihatnya.
“Nggak apa-apa,” senyuman mengembang di bibir Sheryl. “Udah malam. Aku balik ke vila dulu,” beranjak dan berjalan pergi.
”Selamat malam.”

Gadis itu tengah duduk di tepi ranjang kamar tidurnya. Dia mendekap beruang ’Daddy’-nya. Duduk menghadap persis ke jendela kamar yang sengaja di buka. Jelas sekali kelihatan jutaan bintang dan bulan menghiasi langit malam itu. Dan tiga tangkai bunga Matahari yang masih segar dalam vas. Kadang bergoyang pelan karena tiupan angin malam. Indah sekali menghiasi langit hitam dan dingin malam itu.
”Aku......., nggak mungkin…...,” desah Sheryl.

Malam itu terasa panjang. Seperti biasa angin berhembus menggoyangkan benda yang diterpanya. Namun, ada satu yang terasa berbeda. Sepertinya, jutaan bintang, rembulan, angin malam, air laut, pasir putih, jajaran pohon palem dan yang lain, tengah tersenyum melihat mereka berdua malam itu.

***

Ralph dan Jannet berjalan beriringan ke arah pantai. Masing-masing membawa papan selancar mereka. Dari arah berlawanan Sheryl berjalan mau ke vila.
“Sheryl, ikutan main yuk!”
Awalnya, Sheryl tak tahu kalau Ralph dan Jannet berdiri di depannya. Dia memperhatikan.
Lalu kaget melihat mereka berdua dihadapannya, ”Eh, hai, kalian, ya? Hmm, tapi....”
Sheryl melihat Ralph yang berdiri di belakang Jannet, tak bicara. Dia memalingkan wajah.
”Boleh kan, Ralph?”
”Boleh.”
Senyum kecil mengembang di bibir Sheryl.
Mata Sheryl tertuju ke arah Ralph, “Makasih, tapi kapan-kapan aja, ya?”

“Kamu hindarin aku gara-gara tadi malam?”
Menghampiri Sheryl yang duduk sendiri di café.
”Nggak.....”
Keduanya jadi canggung untuk ngobrol. Ah, bukan! Bukan keduanya, tapi hanya Sheryl. Dia kelihatan gugup menghadapi Ralph di depannya. Sedang Ralph, dia biasa saja. Sepertinya kejadian semalam sudah lupa.
”Maafin aku. Benar aku nggak sengaja.”
Senyuman Sheryl tak terlihat meyakinkan.
Suaranya datar, ”Udah deh, lebih baik masalah ini nggak usah diungkit lagi ya, gimana?”
Ralph bengong, “Emmm, oke deh kita lupain aja.”
Keduannya diam. Wajah Ralph berubah. Kelihatannya agak kecewa.
Dalam hatinya, Ralph membuat pengakuan. Sebuah pengakuan yang sangat mengagetkan kalau diketahui atau terkuak oleh seseorang. Apa, ya? Semuanya masih misteri.
”Aku pergi dulu,” tanpa mengharap jawaban.
Suasana saat itu terasa beku. Bagi Ralph. Memang awalnya, sikap Ralph biasa saja. Tapi, setelah mendengar pernyataan Sheryl, dia mulai berubah.
“Sepertinya aku mulai…..”
Dia membungkam mulutnya. Memendamnya dalam. Berpikir yang penting semua kembali seperti semula.
Pemuda itu berjalan menghampiri Jannet yang sedang asyik dengan permainannya.
“Siap main?”

Siang itu Sheryl baru selesai selancar dengan kawan-kawannya. Seluruh badannya terasa lengket kena air laut. Rambutnya jadi kering dan bau matahari. Seluruh tubuhnya berkeringat, menambah rasa tak enak di badannya.
”Ambil handuk.”
Cukup lama Sheryl berada di kamar mandi.
Setengah jam kemudian, dia keluar dengan wajah segar. Rambutnya masih basah meneteskan air, meski sudah dibalut handuk. Tangan kirinya menggengam sisir. Sedang tangan kanannya menyangga kepala yang tersandar di kusen jendela. Matanya memandang lurus ke pantai.
“Kenapa sikapnya jadi gitu?” memikirkan tadi, “Apa aku bikin salah lagi?”
Tubuhnya dihempaskan ke sofa. Rambut basahnya meneteskan air, membasahi kaos yang dia pakai. Meninggalkan motif-motif resapan air di bagian bahu.
Dia mengelap rambut, “Kayaknya kecewa karena sesuatu….,” berpikir sejenak, “Apalah, aku nggak mau nebak-nebak pikiran orang.”

Kaki Sheryl melangkah ke beranda. Menengok kanan kiri mencari teman-temannya. Tak ada. Dilanjutkan lagi ke sisi lain beranda. Mereka tidak ada. Karena mungkin menganggap mereka sudah ada di pantai, Sheryl memutuskan untuk menyusul ke pantai.
Matanya meneliti ke segala penjuru, ”Ke mana, sih?”
Pantai dipenuhi banyak anak muda. Mereka sedang menunggu-nunggu sunset, yang sudah dinanti-nanti setiap sore.
Di sisi lain pantai.
”Ralph ambilin bola!” pinta teman-temannya.
”Ambil sendiri....,” sibuk main Gameboy.
Mereka memaksa, ”Ralph! Ambilin nggak?!”
“Iya, iya…..”
Gameboy-nya dilempar sembarangan ke arah teman-temannya. Sedetik kemudian terdengar suara mengaduh lirih.
Senyum sinis tersungging di bibir Ralph.
“Sukurin!”
Dia berjalan ke arah bola Softball. Ralph membungkuk, lalu memungut bola yang terongok di pasir.
Dari kejauhan Sheryl berjalan mendekat. Matanya mengamati matahari yang tinggal separuh. Dia tak melihat Ralph yang sedang berdiri tak jauh darinya, mengamati. Kagum.
Gadis manis itu memakai switer putih polos dan rok selutut warna biru laut lembut dengan motif kotak-kotak kecil. Wajahnya tampak segar dan santai, tak kelihatan kacau seperti tadi siang. Rambutnya yang pirang alami digerai, melambai-lambai tertiup angin. Wajahnya memantulkan sinar matahari oranye. Matanya memandang matahari terbenam. Tak menyadari kalau seseorang memandangi penuh kekaguman.
”Cantik...!”
Melihat Sheryl tersenyum pada seseorang.
Sampai, dia menyadari keberadaan orang yang diam-diam memandangi. Sheryl berdiri beberapa langkah di depan Ralph. Tersenyum. Meluluhkan hati Ralph.
”Hai? Kamu lihat temen-temenku, nggak?” menyambut dengan sebuah pertanyaan.
Lawan bicaranya masih terpaku. Mengamati, kaget seperti baru ketemu pertama kali.
“Yuuuhuuu….!” gadis itu melambaikan tangannya di depan mata Ralph.
Lalu tersadar.
”Ehm, ha...hai? Ada apa, nih?”
Menahan kegugupan, kekaguman, kepanikan, dan kekagetan. Melihat seorang Sheryl yang kelihatan sangat beda dari hari-hari biasanya. Bola Softball yang di bawanya kembali jatuh ke pasir.
Ralph hanya menggeleng dan tersenyum. Sheryl memendam kebingungan saat melihat sikap Ralph yang mulai salah tingkah.
“Kamu lihat temen-temenku, nggak?”
”Eh, hmm nggak, aku nggak lihat mereka. Memangnya kenapa?”
”Oh ya, udah. Aku cuma nanya aja, kok.”
Sementara, semua kawan Ralph hanya memandangi mereka. Berusaha memberi waktu Ralph untuk sekedar menyapa, tapi Ralph dan Sheryl malah ngobrol. Bahkan jadi terasa lama sekali.
”Ralph! Bolanya mana, nih!” teriak salah satu tak sabar.
Ralph menoleh dan tersenyum. Sheryl memandang kumpulan anak muda itu. Dan tersenyum.
“Hai, Sheryl!” sapa sebagian.
Termasuk Jannet yang sejak tadi menyembunyikan wajahnya dari mereka. Diam. Tak terdengar tertawa, mengejek, bahkan menyapa Sheryl seperti teman yang lain.
“Maaf aku nyari temen-temenku dulu. Daaaa....”
Sejenak berpaling, dan kembali tersenyum pada Ralph yang dari tadi diledeki.
”Lho, memangnya kenapa?”

Semua berlalu seperti layaknya hari-hari biasa. Setelah sore ini matahari tenggelam, semua kembali ke tempat masing-masing. Semua anak-anak SMU yang ikut liburan di pantai Dover, kembali ke vila meski sebagian masih main di luar. Pokoknya semua menikmati liburan musim panas yang panjang itu.

***

Masih seperempat liburan lagi yang harus mereka jalani. Pertemanan Sheryl dan Ralph masih bertahan sampai saat itu. Meski sikap Ralph pada Sheryl jadi kelihatan agak beda. Jannet juga sepertinya sudah tak terlalu memperhatikan hubungan Ralph dan Sheryl lagi. Dan Donna masih sering mengirim E-mail, atau kadang menelepon kalau dia sedang kangen.
Di pantai juga tak kalah menyenangkan. Matahari masih setia menemani mereka menghabiskan liburan, yang setiap tahun selalu ditunggu-tunggu oleh semua orang yang tinggal di daerah beriklim subtropis khususnya.
Lautan yang membentang membatasi pandangan kian terlihat membiru. Angin sesekali masih berhembus keras mengoyang-goyangkan layar kapal hingga kapal terombang ambing di dermaga. Sedang, pasir-pasir pantai yang terlihat putih menampakkan bekas jejak-jejak kaki baru setiap hari.
Semua orang, bahkan anak kecil, bebas melakukan apa yang mereka inginkan. Berenang di pantai, main berbagai macam permainan yang bisa dinikmati, atau hanya sekedar duduk-duduk di bawah payung pantai lebar, dengan es krim di salah satu tangan dan majalah di tangan yang lain untuk mengipas-ngipas.
”Mmmm, enaknya! Nggak pernah disangka kalau liburan kali ini mengasyikkan......”
Sheryl sedang duduk tepi pantai menikmati sinar hangat mentari pagi itu.
Perasaanya tak pernah sebaik saat itu. Karena, sekarang dia sudah jarang melihat nona Oliver bersama ayahnya di café tempat biasa mereka bertemu. Mungkin nona Oliver sudah menyadari kesalahannya dan pergi begitu saja dari kehidupan mereka.
Dan dengan Ralph, persahabatan mereka berjalan dengan baik.

”Jannet ikut, yuk!”
”Kemana, sih?” bangkit karena tangannya ditarik Sheryl.
”Nyoba mainan baru.”
Sheryl berlari pergi, meninggalkannya keheranan sendirian. Dia berjalan ke sebuah toko yang menjual mainan.
Jannet menungguinya di pantai.
Beberapa menit kemudian.....
”Kita mau main ini!” teriak salah satu yang mengikuti Sheryl yang sedang tersenyum-senyum.
”Layang-layang!”
Memastikan dengan anggukan.
“Ayo, main sama kita-kita!”
Senyuman Jannet mengembang. Dibenaknya terbayang sebuah permainan seru.
Keenam gadis itu, berdiri di tepi pantai. Sheryl, Jannet, dan keempat kawan Sheryl. Mereka mulai memegangi layangan masing-masing.
“Kamu yang narik benangnya, terus aku yang megang layangannya.”
Sheryl berdiri menantang arah angin yang berhembus ke daratan. Sedang Jannet berdiri melawan angin.
“Siap!” teriak bersamaan.
Semuanya tersenyum.
“Ayo….!”
Angin mulai menerbangkan ketiga layang-layang yang mereka semua mainkan. kadang terlihat layangannya kehilangan keseimbangan dan akan jatuh.
“Tarikkk…!” teriak Sheryl melihat layangan mereka hampir jatuh.
Dengan sedikit sentakkan Jannet, layang-layangnya sudah kembali terbang bebas di langit.
”Eh, lagi ngapain?” Ralph tiba-tiba duduk di antara Sheryl dan Jannet yang duduk di pasir.
”Kan bisa lihat sendiri!” Sheryl sedikit menggeser posisi duduknya.
Jannet tiba-tiba menyahut, ”Ngapain, sih?”
“Kalian kayak anak kecil aja mainin layang-layang,” tak menjawab pertanyaan Jannet, malah mengejek permainan mereka.
“Jangan nganggu!” Jannet menutupi muka Ralph dengan telapak tangannya.
”Nganggu? Yeee, aku cuma mau ngobrol sama Sheryl aja, kok. Ngapain nganggu kamu? Lagian ini kan mainan anak kecil, ya kan Sher?”
Yang dimintai jawaban tak memperhatikan.
Jannet jadi kesal, ”Diam! Kalau nggak mau ikut main, lihat aja,” bentak Jannet mengahiri perdebatan.
Sheryl hanya tertawa-tawa kecil memperhatikan. Diusahakannya agar tawanya tak berderai.
“Huuu, kamu ini kok galak banget!” mencibir dan berpaling ke arah Sheryl.
“Sher? Nertawain apa?” melihatnya menutup mulut tiba-tiba. Menebak kalau Sheryl habis tertawa.
Dia agak kaget lalu berhenti tertawa. Mereka malah jadi ngobrol berdua tak menghiraukan Jannet.
”Masa? Aneh banget, lhooo....”
Tawa mereka mendenging di telinga Jannet.
Hal itu membuat Jannet tersisih. Dia mendehem pelan. Tak dihiraukan mereka berdua. Lalu batuk-batuk kecil. Mereka baru berpaling.
“Sher, pegang benang ini! Aku dipanggil temen-temenku, tuh.”
Menyodorkannya ke tangan Ralph. Dan Ralph melanjutkan pada Sheryl.
”Kita lanjutin besok lagi, ya? Daaa....”
Pergi meninggalkan mereka berdua yang bengong melihat kepergiannya.
”Dia kenapa, sih?” berdua masih memandangi Jannet.
Mereka tak memperhatikan layang-layang yang Sheryl pegang akan jatuh. Sedetik kemudian Ralph baru menyadari.
“Eh, tarik tuh!” menggengam tangan Sheryl yang juga baru menarik benang yang menghubungkannya.
“Lho, eeeh…?”
Ralph menggengam tangannya.

***

Sekali lagi Jannet setuju dengan ide Sheryl untuk bersepeda bersama.
Mereka, enam orang gadis kemarin, beramai-ramai mengayuh sepeda ke jalan yang menuju pertokoan.
”Hey! Hey! Hey! Lihat, lihat deh, itu! Ada cowok cakep!” salah satu teman Sheryl menunjuk arah anak muda yang sedang main Skateboard.
”Eh, dia senyum sama kamu, lho,” kata yang lain tak percaya.
Obrolan di belakang Sheryl dan Jannet terus berlanjut. Entah kemudian mereka berkata apa lagi, soalnya Sheryl dan Jannet sudah jauh mendahului mereka.
”Temen-temenmu asyik-asyik, ya?” berpaling kembali melihat jalan didepan Jannet, setelah mengamati perbuatan gila teman Sheryl.
”Ha...ha...ha...mereka memang gitu. Gila!” diam-diam berkomentar jelek.
Ahirnya ada juga kesempatan Sheryl untuk mengutarakan kesebalannya pada teman-temannya.
“Mereka selalu nemenin kamu, ya?”
”Cuma kadang-kadang aja. Kalau aku baru ingin sendiri, ya sendiri,” melanjutkan. ”Kalau lagi pingin ramai-ramai ya bareng sama mereka.”
Jannet melihat perubahan nada suara Sheryl, ”Kenapa, sih? Ada apa?”
Sheryl ingat Donna lagi gara-gara pertanyaan itu. Dia berusaha menyembunyikannya sikapnya yang selalu muncul tiba-tiba kalau sedang membicarakan sahabat.
”Kamu enak banget!”
Jannet tak tahu yang dibicarakan Sheryl.
”Masih ada Ralph, yang tiap hari nemenin kamu. Sedang aku....”
”Apa? Kenapa sama kamu?”
Senyum hambar tersungging di wajah Sheryl.
”Sedang sahabatku kan udah pergi.”
Jannet tersenyum dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
”Maaf, lho, aku selalu begini kalau ada orang nyinggung tentang pertemanan di dekatku. Eh, kok aku malah jadi curhat gini sama kamu, ya?” terus mengayuh sepedanya.
”Nggak apa-apa, kok. Aku juga ngerasa ditinggal sahabat.”
Pernyataan Jannet barusan membuat Sheryl agak tersinggung. Dia jadi ingat dengan cerita panjang Ralph tentang Jannet beberapa waktu lalu. Membuatnya jadi malu menghadapi Jannet.
“Rasanya. Sedih, kecewa, dan campur aduk jadi satu, deh.”
Jannet sepertinya menyindir. Padahal maksud aslinya hanya ingin mendeskripsikan kesedihannya saja. Tapi, kalimat itu terdengar beda di telinga Sheryl. Membuat nyali Sheryl menciut untuk melanjutkan obrolan tentang persahabatan dengan Jannet.
Senyuman Jannet mendinginkan suasana.
“Sheryl, Jannet…!”
Keduanya berhenti dan berpaling. Teman-teman mereka memanggil. Keempatnya menunjuk sebuah restoran siap saji. Mereka memegangi perut.
Keduannya bertatapan dan tersenyum.
”Kamu juga, kan?” tanya Jannet.
Sheryl mengangguk mantap, ”Iya, sih kayaknya.”
“Ayooo!!!” ajak yang lain tak sabar.
“Oke!” keduanya memutar balik arah sepeda, mengendarainya ke restoran seberang jalan. Sepeda, mereka letakkan di tempat parkir khusus. Lalu buru-buru menyerbu masuk berebutan.
”Ya, ampun!” kata Sheryl dan Jannet bersamaan melihat tingkah keempat gadis yang tak tahu malu itu.
”Masuk, yuk!” Jannet mempersilakan.
Sheryl menurutinya dan masuk terlebih dahulu.

***

“Eh, eh, eh, tau nggak? Penjaga pantai itu cakep, lho….”
”Iya, iya, iya. Mau nggak ya jadi pacarku?”
”Huuuuu............,” yang lain berteriak melempar apapun di dekat mereka, ke salah satu teman yang bicara ngawur.
Sepenggal obrolan yang Sheryl dengar di ruang tengah vila yang ramai. Gadis-gadis sedang berkumpul untuk ngrumpi. Sedang Sheryl, duduk di sudut membaca-baca majalah remaja. Menikmati kesendiriannya tidur-tiduran di sofa. Tiba-tiba ponsel di sakunya berdering.
“Halo?” menyapa.
“Selamat sore, Sher?”
”Eh, ayah? Tumben telepon,” bangkit dari sofa dan berjalan keluar agar tak terganggu dengan suara berisik teman-temannya.
”Ayah pingin ngajak kamu makan malam, mau?”
Sheryl tertawa senang, ”Tentu aja dong!”
“Ayah tunggu di mobil, ya? Ayah sudah di parkiran.”
Sheryl mengangguk percuma, “Aku ganti baju dulu.”
“Daaa....”
Dia menutup ponselnya. Senang mendapat ajakan ayahnya untuk makan malam. Cepat-cepat dia lari ke arah tangga. Yang lain cuma memandang keheranan, bingung, dan tak lama melanjutkan obrolan mereka.
Ponselnya teronggok di sofa, setelah dia melemparnya. Cepat-cepat dia membuka lemari baju. Mengambil baju yang cocok untuk dibawanya pergi makan malam dengan ayahnya.
Dia berdiri di depan cermin besar. Bajunya terlihat pas di badannya. Dia mulai menyisir rambutnya yang berantakan. Menggunakan bedak tipis, lip gloss, parfum dan cepat-cepat mengambil sepatu di sudut ruangan.
Suara kakinya yang setengah berlari terdengar oleh kumpulan gadis tadi.
Yang lain makin keheranan. Melihat Sheryl yang cantik, menggunakan blouse dan rok jeans hitam selutut. Namun, dengan lambaian tangan yang berarti tak usah menghiraukan, mereka yang dari tadi mengamati melanjutkan obrolan.
Terdengar tawa dan canda mereka gadis itu sampai di beranda vila.

“Ayah! Lama nunggu, ya?”
Ayahnya yang sedang memandang arah laut berpaling.
“Aku sudah siap! Ayo!”
Dia memandangi putrinya sendiri, kagum, “Kamu Sheryl, kan?”
Senyum lebar yang manis di wajahnya. Ayahnya membalas dengan tawa.
“Ayo masuk ke mobil?” membukakan pintu mobil. “Silakan masuk putri cantik.”
Mobil pun berjalan.
“Lho, gelang ayah beri mana? Nggak kamu pakai, ya?”
Senyum kikuk terlintas di wajah Sheryl. Dia ingat kalau gelang itu sudah dibuang ke tempat sampah. Dia tak memikirkan perasaan ayahnya kemudian. Tangan kirinya lalu di sembunyikan di balik lengan baju yang hampir menutupi panjang tangannya.
”Ah, udah ayah kan cuma nanya. Lagian hanya gelang, kan?”
Ayahnya tahu kalau ada yang tak beres dengan putrinya.
“Nggg…, ayah nggak biasanya pakai baju serapi ini. Ada acara apa, sih?”
“Makan malam istimewa.”

Mobil telah memasuki tempat parkir sebuah restoran Italia.
”Ngomong-ngomong, kok makan di sini?”
Ayahnya tersenyum.
“Kenapa makan di sini, yah?”
Ayahnya sudah berdiri di depan pintu restoran, Sheryl mengikutinya. Disambut dengan ramah oleh pelayan. Sheryl mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya.
”Selamat malam Tuan dan Nona?” sambutan yang manis. ”Mari sebelah sini.”
Pelayan itu mempersilakan menuju meja yang sudah di pesan terlebih dahulu.
”Ayah? kenapa makan di tempat kayak gini, sih?” berbisik, bertanya karena suasana di tempat itu sangat kaku.
Lagi-lagi ayahnya hanya membalas dengan senyum.
Belum sempat bertanya lagi, pelayan menyela mereka.
“Tuan, Nona, silakan daftar menunya,” seorang pelayan memberikan dua daftar menu.
“Pelayannya aja sampai pakai Tuxedo rapi gitu.”
Kembali berkomentar. Masih dengan berbisik. Karena yang dimaksud masih berdiri di samping mereka.
”Maaf, Nona? Apa anda menginginkan sesuatu?”
Sheryl hanya tersenyum hambar. Ayahnya hanya mengikuti senyuman Sheryl.
“Nanti aja,” tunda ayahnya. ”Kami pesan minum dulu. Espresso.”
”Capucinno Late.” Sheryl menyahut.
”Masih suka kopi pahit, nih?”
Mereka masih duduk di meja dekat sebuah lukisan artistik Italia dari abad pertengahan. Ayahnya sibuk mengamati kanan kiri sekitar restoran. Kelihatannya menanti-nanti seseorang. Sheryl langsung mengajukan pertanyaan tentang hal itu.
”Nanti kamu tau sendiri, Sher,” bermaksud membuat lebih penasaran. ”Oh ya, gimana liburan kamu sampai hari ini?”
”Asyik, kok,” menjawab dengan malas karena pertanyaannya digantungkan.
”Dan teman kamu itu? ”
Ralph yang ayahnya bicarakan.
”Tentu aja. Malahan tiap hari dia selalu nemeninin main.”
Sejenak ayahnya memikirkan sesuatu.
”Ngomong-ngomong namanya siapa, sih?”
Memang Sheryl tak biasa, bahkan tak pernah menceritakan kehidupan remajanya pada sang ayah. Jadi, sedikitpun dia tak pernah menceritakan Ralph dan semua teman-temannya. Kecuali Donna, ayahnya memang sudah mengenalnya dengan baik, meski Sheryl tak menceritakan. Orang tua Donna adalah sahabat baik ayahnya. Sehingga mereka sudah seperti keluarga. Lagi pula dia berpikir ayahnya juga tak perlu tahu dengan kehidupannya.
“Siapa?” mengulang.
”Ralph! Namanya Ralph Collin,” menyahut. “Dia satu SMU sama aku, kok. Bahkan kelas 3 sama kayak aku dan Donna.”
Isyarat anggukan membuat Sheryl makin pasti kalau ayahnya mengerti.
”Masih anak-anak, ya?”
”Apa?!” sahut Sheryl.
”Nggak, ayo lanjutin ceritanya.”
Semua tentang Ralph mulai diceritakan dari awal. Sejenak membuat ayahnya tersenyum-senyum, sembari menikmati Espresso. Sedang Sheryl, dia makin asyik menceritakan, meski kadang juga menjeda dengan acara minum Capuccino Late-nya. Satu yang tak ingin Sheryl ungkapkan pada ayahnya, kejadian malam itu di pantai.
”Bisa ditarik kesimpulan dari ceritamu itu.”
Mata dan telinga Sheryl ditajamkan untuk mendengar pendapat ayahnya.
”Dia..., dia pasti suka sama kamu!”
Hampir Sheryl tersedak dengan minumannya, saat sang ayah menyampaikan kesimpulannya.
”Haaa? Ayah sembarangan, ah!”
“Ayah nggak sembarangan, kok. Coba pikir dan ingat lagi semua kebaikannya sama kamu,” menyarankan. ”Bukannya dia selalu nolongin kamu? Selalu menomorduakan sahabat karibnya sendiri cuma buat sama kamu, kan? Ayo Sher coba pikir lagi!”
Kata-kata itu membuat Sheryl tampak ragu. Semua disembuyikan di balik cangkir kopi yang kini melekat di bibirnya.
”Nggaik tau, ah!”
Jawaban itu untuk menyembunyikan keraguan yang mendera. Membuat keyakinan kalau Ralph hanya sebagai sahabatnya, mulai goyah.
Waktu hampir menunjuk pukul 20.00. Ayahnya makin kelihatan cemas memeriksa kanan kirinya. Sheryl tahu kalau yang akan datang adalah orang yang spesial.
“Sore..….,” sapa seseorang yang datang. Suaranya itu cukup dikenal Sheryl sebelumnya.
“Sore!”
Sheryl berpaling. Melihat di sana, nona Oliver berdiri dengan gaun malam hitam yang cocok dipakainya.
“Hai, Sheryl? Sore….”
Nona Oliver duduk di samping ayahnya. Mereka sempat bersalaman dan mencium pipi kanan kiri. Sampai ahirnya mereka ngobrol sendiri.
Sheryl memainkan ujung kain penutup meja yang berenda. Mereka tak memeperhatikan. Lalu dengan agak tak sopan, meghentak-hentakkan jarinya lirih ke atas meja. Keduanya malah asyik ngobrol.
”He’em!” Sheryl mendehem kecil. Keduannya berpaling. ”Bisa makan malamnya dimulai aja?”
Sheryl memang sudah tak sabar. Bukannya tak sabar untuk makan, tapi tak sabar melihat sikap keduanya berahir. Yang kenyataannya, hal gila itu mulai membuatnya muak.
Sebuah pertanyaan memalukan yang tak diharapkan Sheryl diajukan oleh nona Oliver. Mata Sheryl menetap ke nona Oliver dengan senyuman yang kelihatan dipaksakan.
“Pelayan tolong daftar menunya,” Pinta ayah.
Sheryl mengerti. Nona Oliver yang berjam-jam ditunggu.
“Hmmm…..gimana kalau ini?” menunjuk salah satu menu makanan pembuka kepada pelayan yang berdiri di samping ayah Sheryl.
“Tunggu sebentar, Tuan.”
Ayahnya mengangguk.
Obrolan dimulai lagi. Ya, obrolan! Tapi, hanya obrolan ayahnya dan nona Oliver. Sedang Sheryl hanya dibiarkan duduk mengamati mereka berdua. Kesal, sebal, karena diacuhkan.
“Aku boleh gabung nggak?”
Keduanya menoleh. Tersenyum menahan malu. Malu karena sama-sama mengacuhkannya.
Kemudian makanan pembuka datang. Lalu makanan utama, dan ahirnya makanan penutup. Sampai makanan penutup dihidangkan......
”Sheryl....? Ada masalah penting yang pingin kami bicarakan sama kamu,” ayahnya serius.
Gadis itu menghentikan makan es krim cokelatnya. Nona Oliver meletakkan sendok di tepi piring puding vanilanya. Keduanya saling memandang dan menghela napas bersamaan.
”Sebenarnya....”
Kini pandangan Sheryl terarah pada nona Oliver. Dia terkesan tak sanggup untuk memberi tahu. Kemudian melihat ayahnya. Ayahnya malah berpaling. Hingga keduanya, karena tak satupun mulai bicara.
”Iyaaaa....?” Sheryl jadi tak sabar.
“Sebenarnya ada tujuan tertentu ayah ngajak kamu ke sini.”
Keingintahuan Sheryl muncul. Tapi, dia tetap sabar menanti ayahnya bicara.
“Ayah harap kamu bisa ngerti keputusan kami ini, ya? Karena ini semua hanya demi kebaikan kita.”
Suasana sepi sejenak.
“Semua udah lama berlalu setelah kematian ibummu. Dan ayah udah jarang sekali nemenin kamu dan merhatiin kamu. ”
Keduanya tampak tegang dan gugup. Takut kalau ekspresi Sheryl akan berlebihan.
”Aku sebenarnya nggak apa-apa! Memang ayah nggak pernah nemenin aku. Tapi, aku bisa jaga diri, kok! Lagian di sekitarku juga banyak temen-temen.”
Pernyataan itu mengoyahkan niat mereka untuk bicara.
”Yah, aku nggak apa-apa ditinggal sendirian. Lagian ayah juga pernah bilang kalau aku udah dewasa, kan?” lanjutnya. “Karena itu ayah nggak usah khawatir. Masa ayah nggak percaya sama aku?”
“Bukan gitu sayang.”
Ketiganya membisu. Hati Sheryl makin penasaran.
”Boleh atah melanjutkan obrolannya?”
Sheryl tersenyum hambar, lalu mengangguk.
“Ayah hanya nggak mau aja kamu terus sendirian di rumah. Makannya itu ayah dan nona Oliver....”
Semua serius. Sheryl mendengarkan, ayahnya bicara, sedang nona Oliver menunduk berharap Sheryl akan menerimanya.
“Kami akan menikah!”
Sheryl terperanjat.
Serasa disambar petir. Tubuhnya jadi lemas. Dia tak mampu berkata-kata. Pita suaranya terasa putus, kerongkongannya tersumbat, lidahnya kelu, dan bibirnya terkatup rapat. Kata-kata di pikirannya sudah berjubel ingin keluar. Tapi, tak bisa. Matanya terus memandang keduanya. Tak beralih.
Berharap dengan helaan napas semua kembali normal. Namun, jantungnya tak bisa berdetak normal lagi.
Nona Oliver mulai bicara, ”Maaf, Sheryl!”
“Kami minta maaf kalau semua ini terdengar terburu-buru,” sesal ayahnya.
Sebuah senyuman mengatasi semuanya. Ayah dan nona Oliver sudah bisa duduk tenang.
”Memang terlalu buru-buru buat aku. Aku nggak tau musti njawab apa? Aku, aku….” sahut lirih.
“Ayah benar-benar nggak bermaksud buat kamu kecewa,” ucapnya. “Sekarang kamu tinggal sendirian. Donna sudah nggak ada. Dan ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai nggak merhatiin kamu. Kamu sangat butuh kasih sayang seorang ibu, Sheryl.”
Menunduk. Mencoba mengembalikan sikap normalnya.
“Untuk itu nona Oliver akan mengganti peran ibu untukmu.”
Keberanian sudah terkumpul kembali di hatinya. Sebuah senyum, senyum yang tak pernah terpikirkan oleh ayahnya dan nona Oliver sebelumnya, terlintas manis. Ekspresi Sheryl tak menampakkan kekagetan yang amat sangat. Dia malah tersenyum.
”Oh, jadi gitu?” katanya lembut. ”Ya, ayah! Ayah memang nggak setiap hari nemenin kayak dulu. Tapi, untuk hal ini aku belum bisa mutusin. Soalnya ini kedengaran buru-buru buatku,” melanjutkan. ”Jadi, beri aku waktu untuk berpikir, ya?”
Penutup sebuah kecanggungan yang baik. Itu adalah saran yang bagus.
“Baiklah, mungkin ini yang terbaik. Karena memang semua keputusan ini terlalu awal. Kami akan beri kamu waktu sampai kamu bisa mutusin semuanya, gimana?”
Sheryl tertawa, “Ops! Udah jam 22.00, aku harus cepat-cepat balik ke vila. Selamat malam.....”
”Mau ayah antar?”
”Nggak perlu.”
Sheryl bangkit dari duduk.
”Selamat malam....,” keduanya membalas bersamaan.
”Apa nggak apa-apa?” bisik nona Oliver kemudian.
”Dia sudah 17 tahun, aku yakin udah bisa mutusin sendiri.”

Sheryl berlari terburu-buru. Setiap orang mengamatinya, heran. Tanpa memperdulikan sekitarnya dia terus berlari. Sempat Sheryl menabrak seseorang, namun tak sempat meminta maaf pada orang itu.
”Ibu tiri kan biasanya jahat.”
Air matanya menetes. Tak terbendung. Semua orang memperhatikan. Bertanya-tanya apa yang terjadi.
“Semua cuma mikirin perasaanya sendiri. Dan aku? Nggak ada yang pernah merhatiin,” desahnya hampir tak terdengar.
Sheryl tak sadar kalau sudah sampai di pantai. Dia berdiri di tepi laut. Mengangkat wajahnya yang sengaja disembunyikan di balik rambut.
”Ayah nggak pernah mau ngerti.”
Terlalu lelah, kini dia hanya mampu berjalan ke dermaga. Dia belum siap kalau teman-temannya kaget melihatnya berantakan. Dan dalam keadaan menangis seperti itu.
Angin dingin, malam itu.
Sheryl duduk di anak tangga kayu. Sangat sepi, tak ada siapapun. Tapi, itu yang diharapkannya. Tak ada orang yang menganggu.
”Aku capek.....”
Kepalanya tertunduk. Kedua tangannya memeluk lutut. Rambutnya menutupi wajah sampai tak terlihat. Dia sedang berusaha menahan tangis yang terasa sakit.
Sudah hampir pukul 22.30. Sheryl masih belum mengangkat wajahnya.
Sampai, terdengar langkah kaki di lantai kayu dermaga, yang menuju ke arahnya. Suara mendekat dan terus mendekat. Dia menuruni tangga, dan kemudian duduk di anak tangga depan Sheryl.
Sheryl belum menyadari keberadaanya.
”Sheryl....?” lirih.
Masih belum disahut.
“Sher…!” mulai keras.
Dia baru tesadar dan mengangkat wajahnya.
“Eh, Ralph. Ngapain di sini?”
Ralph jadi khawatir.
”Kamu nggak apa-apa?”
Dia hanya menggeleng. Sheryl tersenyum.
“Kenapa nangis?”
Sangkalan mulai keluar lagi dari bibirnya. Dan terus sampai membikin Ralph jengah.
”Jangan beralasan terus!!”
Sheryl kembali menutup mulut.
”Maafin aku, ya? Aku cuma nggak mau lihat kamu nangung beban masalah sendirian,” katanya. ”Pasti tentang ayahmu, kan?”
Sheryl memandangnya. Ralph sudah tahu perasaan Sheryl yang keheranan.
“Aku pernah lihat kamu sama seseorang malam-malam,” ceritanya.
Semua yang Ralph lihat saat itu diceritakan.
Sheryl tersentak.
”Aku mungut ini dari tempat sampah,” mulainya. ”Sekarang coba kamu ceritain masalah kamu sama aku,” menarik kembali kotak itu dan memasukannya ke saku jaket yang malam itu dipakainya.
”Nggak ada!” tolaknya.
Tak ada respon dari Ralph. Padahal biasanya Ralph selalu memaksanya untuk buka mulut.
“Masih takut?” mengulang omongan Sheryl dulu. ”Kalau nggak kamu cerita bisa tambah takut dan sakit, lho.”
Ralph duduk bersandar di anak tangga terahir. Malam itu sikapnya sangat santai, padahal menghadapai Sheryl yang kacau seperti itu.
“Ya, udah! Aku pergi aja.”
Ralph beranjak dari duduk.
”Jangan diketawain, ya?”
Ada sesuatu yang membikin Ralph mengkhawatirkan gadis itu.
“Nggak akan.”
”Oke, awalnya waktu Donna pergi. Oh? Mmm?” sesaat berpikir. ”Nggak, semua berawal dari sini.....”
Dia mulai bercerita. Pertama dari cerita tentang ibunya yang meninggalkannya sendirian, ayahnya yang terlalu sibuk kerja, Donna yang sudah pergi, dan hal besar yang baru saja dia alami. Menyedihkan. Itu yang ditakutinya.
Sesekali setetes dua tetes air mata jatuh. Ralph masih mendengarkan.
”Gadis itu, nyimpan masalah besar yang sebenarnya nggak pantas dia terima,” membatin. “Apa ini terjadi karena Tuhan salah ngasih takdi? Atau apa memang inilah arti hidup yang sebenarnya?”
Ralph menyodorkan sapu tangan kepada Sheryl. Gadis itu meraihnya dan segera menghapus sisi matanya.
“Ini juga sih yang aku takutin. Aku takut kalau ceritaku ini bikin orang miris.”
Dalam hati, Ralph membenarkan kalau ceritanya itu menyedihkan. Bahkan sangat. Ralph baru tahu kalau sikap ceria Sheryl hanya sebagai kedok kesedihannya.
”Nggak, Sher! Kenapa kamu ngomong kalau cerita kamu bikin miris kalau didengar orang?”
”Nggak tau.”
”Aku malah nganggap kamu hebat, Sher. Kamu yang cewek gitu aja, bisa tahan dengan hal kayak gitu.”
”Biasa aja kali.”
”Nggak ada yang biasa sama kamu,” sahut Ralph.
”Tapi, gimanapun juga aku sakit Ralph!”
Tangisnya lagi-lagi mulai ditahan. Saat itu juga, seorang sahabat sangat dibutuhkan.
” Sheryl!”
Ralph menguncang pelan tubuh gadis lemah itu.
Masih tak ada jawaban dari Sheryl. Hal itu membuat Ralph tambah khawatir. Sebuah isak tangis terdengar kian berat.
“Sheryl!!”
Ralph duduk berjongkok persis di depannya. Mencoba mengangkat wajah Sheryl yang masih tertunduk. Air mata mengalir. Kedua tangan Ralph yang masih memegangi kedua sisi wajahnya, lalu menghapus sisa cairan di sisi mata Sheryl dengan salah satu jarinya.
“Kenapa nggak ditangisin? Nangis aja, nggak apa-apa kok, aku akan nemenin kamu sampai udah baikan!” menasihati.
Sheryl tersenyum dan meraih tubuh Ralph. Tangisnya meluap.
“Nggak apa-apa, nangis aja biar lega.”
Di sana, di dermaga. Ralph setia menemani Sheryl yang sangat-sangat membutuhkan teman. Teman yang diharapkan bisa diajak berbagi kesedihan.
Lama Sheryl tenggelam dalam tangis di pelukkan sahabatnya.
”Makasih.”
Ralph duduk dan tersenyum di depan Sheryl, merapikan rambutnya yang berantakan. Pemuda itu tersenyum, sampai lesung pipinya terlihat dalam.
”Udah, ya? Jangan nangis lagi?”
Sheryl mengangguk. Ralph duduk di sampingnya. Sheryl mendongakkan wajahnya ke arah langit.
”Lihat bintang itu!” menunjuk salah satu bintang di langit yang terang. ”Aku pingin jadi kayak dia.”
”Lho, kenapa?”
”Sinarnya terang. Meski nggak ada bintang di sampingnya, dia kelihatan tegar. Nggak kayak aku, cengeng.”
Untuk masalah yang itu, Ralph mengerti.
”Kalau aku sih nggak pingin kamu jadi kayak bintang itu,” sambil tersenyum manis. “Aku lebih suka sama kamu yang jadi diri sendiri. Yang tegar kayak kamu, yang ceria kayak kamu, pokoknya yang asyik kayak kamu, deh!”
Sheryl melihat semangat Ralph saat membicarakan dirinya.
“Lagian aku suka Sheryl yang cengeng kayak gini.”
“Makasih.”
Malam itu mereka melupakan waktu. Masing-masing tak membawa jam tangan. Tapi, itu lebih baik. Karena saat itu mereka tak punya waktu untuk memikirkan waktu.
”Hmmm? Ngomong-ngomong mau digimanain nih barangnya?”
Mengambil kotak hitam tadi dari sakunya.
Sheryl mengamati. Tiba-tiba dia bangkit dan mengambilnya dari tangan Ralph. Lalu mengayunkan tangannya cepat ke arah laut.
“Heyyy! Jangan dibuang!”
“Lho, katanya terserah aku? Aku pingin buang benda itu.”
“Iya, tapi,….aduh, ya ampun…,” melepas jaketnya.
”Eh, kamu mau ngapain, Ralph?”
Mata Ralph mengerling, ”Ngambil itu.”
Dia masuk ke air yang tentunya dingin sekali malam itu.
”Hey! Ralph biarin aja aku nggak butuh. Cepat balik!!”
Ralph terus berenang mencari kotak itu. Untung kotak itu mengapung dan terlihat di permukaan air.
”Raaalph....!” berteriak.
”Bentar!” Ralph meraihnya.
Ralph mulai berenang lagi ke tepian.
“Eh, kamu gila, ya? Aku nggak butuh barang ini. Jadi, kamu nggak usah susah-susah ngambil.”
“Memang kenapa? Karena kamu benci sama ayahmu? Iya? Bukan alasan buat buang ini, Sher.”
”Buang aja!”
“Sher!”
Sheryl menarik tangan Ralph.
“Buang! Aku lebih butuh sahabat dari pada benda itu!”
Gadis itu memeluk tubuh pemuda di depannya.
“Aku lebih butuh teman!”
Tangan Ralph melingkari bahu Sheryl. Bibirnya menyunggingkan senyum. Hatinya tenang dengan bicara Sheryl.
”Ayo balik! Nanti kamu masuk angin,” melepas pelukan dari tubuh basah kuyup itu.
Tangan Sheryl menggengam tangan Ralph yang dingin.
Sebuah senyum simpul tersungging di wajah Ralph tanpa diketahui Sheryl.

***

Malam yang panjang buat Sheryl.
Sampai semua cerita itu tertulis di E-mail yang dikirimkan ke Donna. Komentarnya sangat berlebihan. Seperti majas Hiperbola. Apalagi tentang Ralph. Dalam E-mailnya ditulis kalau Ralph adalah Guardian Angel, Ralph adalah sahabat terbaiknya sesudah dirinya. Bahkan sampai ke hal yang paling gila, Ralph adalah cinta sejatinya. Memang gila.

”Ahir-ahir ini selalu kepikiran sama Ralph!”
Tiba-tiba tangannya menutup mulut.
”Kenapa?”
Sheryl tengah di parkiran mengambil belanjaan teman-temannya yang ketinggalan.
”Ini dia!” lega. ”Bikin repot aja!”
Sheryl memergoki teman-temannya ada di café. Salah satu memintanya mengabilkan belanjaan yang ketinggalan di mobil.
”Semuanya nyebelin!” membanting pintu mobil.
Dia berbalik, ingin kembali. Tapi, sebelum dia pergi, tak sengaja dia mendengar obrolan. Antara Ralph dan Jannet.
”Aku pingin ngomong.”
Sheryl menahan diri dan bersembunyi di balik mobil Van. Dia menggengam erat tas belanjaan temannya.
“Aku pergi aja, deh. Nggak baik ikut campur urusan orang,” mendesah ingin melangkah pergi.
Lalu Jannet menyinggung kejadian tadi malam antara Sheryl dan Ralph.
Kaki Sheryl terpaku. Telingannya menajam mendengar percakapan.
”Oh, itu?” balas Ralph santai. “Dia cuma lagi punya masalah. Dan butuh teman ngobrol. Kebetulan saat itu aku lagi jalan-jalan dan lihat dia sendirian. Jadi aku mampir, deh.”
”Oh, gitu, ya?” sahutnya ketus karena kesal dengan bicara Ralph yang begitu santai.
Jannet melipat tangannya di depan dadanya, kesal. Matanya mengarah ke arah jalanan yang ramai.
”Sekarang aku mau jujur sama kamu.”
Ralph malah tersenyum. Membuat Jannet tambah kesal dan tak sabar dibuatnya.
“Kamu suka sama Sheryl, kan? Hah? Jawab! Aku tau, kok.”
Mata tajam Ralph mengerling. Dia bersandar di sebuah mobil Jeep hitam. Kedua tangannya dimasukkannya ke saku celana jeans sekater. Kepalanya tertunduk santai. Dia tak menyahut.
Sheryl mulai tegang mendengar pembicaraan itu. Seluruh tubuhnya berkeringat. Tangannya gemetar. Dia bahkan sampai tak tahu kalau hubungan persahabatannya dengan Ralph membuat Jannet jadi sangat marah.
”Oke! Kalau nggak mau njawab,” bentaknya. ”Tapi, bisa nggak ngerti aku dikit, Ralph?”
Sepenggal pertengkaran itu sudah cukup untuk membuat hati Sheryl bimbang. Sheryl tak ingin hanya gara-gara dia, sebuah persahabatan yang sudah terjalin lama berahir. Karena sudah tak tahan dengan semua yang didengarnya, dia berjalan ke luar dari persembunyiannya.
“Kamu nggak perlu sampai begitu, Jannet.”
Ralph dan Jannet kaget. Tak diduga sebelumnya kalau Sheryl mendengar obrolan itu.
“Kamu nggak perlu ngerasa kayak gitu, kok,” memindah kantong belanjaan ke tangan kanan. ”Kami cuma sahabatan. Dan semalam Ralph juga cuma bantu aku aja.”
Jannet kembali berpaling. Wajahnya masam. Tak ada lagi kepura-puraan lagi.
Sekarang Sheryl memandang Ralph.
“Dan soal Ralph suka sama aku, aku pikir itu nggak benar kan Ralph?”
Ralph tertegun. Matanya tak mampu memandang mata Sheryl. Dan Jannet sekarang memandang Ralph, penuh harap sebuah jawaban. Kedua gadis itu menunggu keputusannya.
“Nggak, kok! Nggak benar,” melihat ke arah Jannet yang berdiri. “Kami cuma temanan aja.”
Jawaban itu tak membuat Jannet puas. Tanpa berkata apa-apa dia pergi meninggalkan keduanya.
Sheryl memandang Ralph. Menghela napas. Sheryl ingin pergi. Wajahnya kelihatan bingung.
“Yang tadi itu….,” kata Ralph.
Dia berpaling, “Ya? Yang mana?”
“Lupain aja!”
Sheryl melanjutkan jalannya dan pergi.
”Kayaknya bukan waktu yang tepat.”

***

”Ya, Tuhan kenapa semua ini tambah rumit?” duduk di kusen jendela kamarya. ”Jannet, dia udah salah nilai semuanya. Dan masalahku sama ayah, belum selesai.”
Bunga Matahari di sampingnya bergoyang tertiup angin. Dia memandanginya.
“Ralph…, semuanya malah bikin pusing.”

Malam itu tak ada bedanya dengan kemarin. Dipenuhi dengan kebingungan. Seperti tak ada lagi semangat untuk menghabiskan sisa liburan.
Sheryl berbaring di sofa kamarnya. Dia memandangi beruang ’Daddy’itu iri.
”Kamu nggak berubah, ya? Kamu tetap lucu sejak ayah kasih kamu ke aku. Hahhh…..kamu pasti nggak punya banyak masalah iya kan?”
Matanya terpejam. Dan memeluk boneka beruangnya.
”Ehmmm, andai aja waktu aku buka mata, semua balik kayak dulu,” pikirnya.
Beberapa detik kemudian....
”Masih sama aja!” bangkit dari tidurnya.


***

“Tunggu dulu!” meminta. “Jannet, tunggu! Aku pingin ngomong bentar.”
Jannet tak menyahut. Sempat dia terlihat memutuskan untuk menghindarinya. Keduanya sama-sama bertemu di beranda vila.
”Aku mohon tunggu bentar,” pinta Sheryl.
Jannet sudah duduk di kursi panjang yang ada di beranda.
“Mau bicara apa?.”
“Aku minta maaf dengan semua yang udah terjadi selama ini. Aku yang salah,” mulainya. “Sungguh, aku nggak maksud ngrebut Ralph dari kamu, kok. Kami cuma temanan aja?”
Dia tetap diam.
Jannet memandang Sheryl. Senyumnya meremehkan.
“Nggak perlu. Bukan salah siapa-siapa,” menyahut. “Ralph lebih milih kamu dari pada aku.”
Sheryl menggeleng tak mampu berkata-kata.
“Lagian aku punya bukti kalau Ralph lebih milih kamu,” memberi tahu. “Gelang itu!” menunjuk tangan kiri Sheryl.
Sheryl mengarahkan matanya ke gelang yang sampai saat itu masih melingkar di tangannya.
“Mungkin Ralph udah cerita, kalau gelang itu gelang penting pemberian sahabat karibnya dulu, kan?”
Tak bisa dipercaya. Sheryl tertegun mendengar penjelasan Jannet barusan. Berarti gelang yang dipakainya ternyata adalah gelang berharga bagi Ralph. Jadi, selama ini dia bohong.
“Dia pernah ngomong, kalau gelang itu nggak pernah dan nggak akan pernah diberiin sama orang lain. Bahkan aku!” lanjutnya. “Dan waktu aku tau kalau sekarang gelang itu ada sama kamu, aku agak kaget. Nggak percaya aja.”
Sheryl mulai bingung, “Tapi, kenapa ke aku?”
“Aku nggak tahu. Aku….aku cuma tau sesuatu.”
Kedua bola mata Sheryl fokus melihat gerak bibir Jannet. Terlihat Jannet menghela napas yang penuh dengan kelelahan.
“Dia suka sama kamu.”
Lagi, setelah semua masalah yang selalu datang tiba-tiba dan terus membuatnya terkejut karena kedatangannya, kini harus ada satu lagi yang mengundahkan hatinya. Ralph menyukai Sheryl? Apa mungkin?
“Nggak! Aku nggak ngrasa kalau dia suka sama aku, kok. Pasti kamu bercanda, kan?” mengelak.
Pandangan Jannet mengarah ke matanya, heran. Dia terus memandang Sheryl yang sedang bingung mendengar hal mengejutkan itu.
“Kamu nggak bisa bohongin diri sendiri, Sher Aku nggak mungkin salah,” Sheryl makin galau. “Aku udah kenal Ralph lebih dari 7 tahun, lho,” meyakinkan. “Jadi, jangan remehin masalah ini. ”
Sheryl tertegun. Dia melamun mengingat semuannya.
“Kenapa? Omonganku ini bikin bingung?”
Sheryl mengamati Jannet heran, dia tak bisa mengeluarkan sepatah katapun untuk komentar. Dia cuma mampu menunduk, dan minta maaf pada Jannet.
”Sher, terima aja. Ralph suka sama kamu!”
Sejenak suara angin mengisi kebisuan di antara mereka.
“Gitu, ya? Apa mungkin gelang ini harus aku balikin sama dia?” meminta saran.
Tawa kecil terdengar dari bibir Jannet, “Mungkin, kalau gelang itu sih bisa kamu balikin lagi. Tapi, cintanya nggak!”
Jannet bangkit berlari ke arah teman-temannya. Tersenyum meninggalkan Sheryl yang masih bimbang.
Hatinya dan pikirannya bergelut. Tak pernah terpikirkan kalau persahabatannya dengan Ralph akan menumbuhkan rasa suka, sayang. Selama ini, sampai sebelum kejadian di malam itu, Sheryl menganggap semuanya biasa, tak ada yang istimewa. Tapi, setelahnya pandangan Ralph padanya terasa beda.

“Aku nggak pernah tau perasaan Ralph yang sebenarnya. Aku Egois!!!”

“Hai, kok sendirian?” menceletuk, sebelum Ralph menyapa.
Sheryl tak memandangnya. Ralph tersenyum.
“Hmmm, ngomong-ngomong apa Jannet masih marah sama kita?” menanyakan jawaban yang sebenarnya telah diketahuinya.
“Aku nggak pernah ketemu sama dia lagi setelah kejadian di parkiran kemarin. Memang kenapa?”
Kaki Sheryl memainkan pasir basah di bawahnya.
“Tadi siang aku ketemu, lho.”
“Lalu?”
Bukan pertanyaan yang diharapkan Sheryl. Dari awal dia sudah mengira kalau Ralph akan kaget mendengar pernyataannya.
“Dia udah ngomong semuanya, kok,” air laut kembali menyentuh ujung kakinya. “Tentangnya, kamu, dan persahabatan kalian.”
Ralph tak bisa lagi acuh. Apa yang telah dikatakan Jannet pada Sheryl tentangnya. Kalau hanya persahabatan mereka dan tentang Jannet sendiri, Ralph tak ambil pusing. Tapi kalau tentang itu hal itu.
Sheryl duduk berjongkok memainkan air asin dengan jari telunjuknya. Rambutnya jatuh tergerai menutupi seluruh wajah dan hampir tercelup ke air laut.
“Ralph, kemarin mau ngomong apa?”
“Lho,yang mana?”
Sheryl tersenyum. Ralph kelihatan gugup.
“Nggak jadi!”

***

Dia menarik kursi duduk di depan meja, yang di atasnya secangkir Espresso sudah berkurang setengah.
“Ayah udah lama nunggu?”
Pria itu menggeleng dan tersenyum. Sheryl duduk menghempaskan tubuh rampingnya. Terdengar helaan napas berat yang berarti sesuatu. Tas selempangnya dibiarkan tergantung di pundak. Dia mengutak-atik gelang Ralph di tangan kirinya.
“Sepertinya udah waktunya ngasih tau keputusan, ya?” baru melepas tas selempang biru dongker-nya di lantai.
”Ayah dan nona Oliver nggak jadi menikah!”
Sheryl tercekat. Matanya memandang serius. Lagi-lagi dia tak bisa berkata-kata.
”Nggak jadi. Kenapa?”
”Nona Oliver tau kalau kamu nggak setuju dengan pernikahan kami.”
Sebagian perasaan Sheryl senang, tapi sebagian lagi merasa sungkan. Mungkinkah hanya karena Sheryl saja, ayahnya dan nona Oliver rela mengorbankan kebahagiaan mereka.
”Sher, nona Oliver sayang sama kamu.”
Mata Sheryl memperhatikan.
“Dan karena rasa sayang itulah dia rela ngorbanin apa saja buat kamu.”
Hati Sheryl terasa sakit.
”Tapi, dia ikhlas, kok.”
”Awalnya aku ngerasa, kalau punya ibu tiri itu nggak enak,” sahut Sheryl. ” Kalau nona Oliver mungkin akan jadi ibu yang baik. Tapi, aku nggak pingin ada ibu lain yang nganti posisi ibu di hati ayah dan aku.”
Sang ayah tersenyum jenaka.
”Kayak anak-anak aja, kan?”
Ayahnya menggeleng.
“Ayah ngerti, kok! Kamu memang bukan anak kecil yang harus nurut perintah ayah. Memang udah waktunya kamu berpendapat,” menatap bijak ke arah Sheryl. “Dan kamu nggak usah khawatir dengan pikiran ayah tentang ibu tiri itu. Sedikitpun ayah nggak pernah mikir kamu kekanak-kanakan. Tapi, ayah malah menghargai keputusanmu.”
“Makasih, yah…,” bisiknya. “Aku sayang sama ibu?”
“Ayah juga. Dia akan jadi yang pertama dan terahir yang akan selalu ada di hati ayah.”
“Yah, kalau ayah ketemu lagi sama nona Oliver, tolong sampaikan permintaan maafku, ya? Jangan lupa, lho!” pintanya.
Ayahnya tersenyum.

***

Selesai, kini masalah tentang keluarganya sudah selesai. Namun, ada secercah rasa salah membekas di hatinya. Tapi, dengan sikap dewasa yang kini dimilikinya, disimpannya rasa itu di lubuk hatinya yang terdalam. Sekarang saatnya menikmati sisa liburan yang masih beberapa minggu itu.
“Kamu kok senang banget!”
Kalimat itu disambut dengan senyum manis.
“Tau nggak?”
Ralph menggeleng, ”Nggak.”
Sheryl mendorong tubuh sahabatnya itu. Wajahnya cemberut.
“Iya, iya, ada apa, sih?”
“Masalahku sama ayah udah selesai, lho. Ahirnya keputusannya udah diambil,” katanya tersenyum-senyum. “Mereka nggak jadi menikah!”
Perasaan lega kini dirasakan Ralph. Lega dan senang karena keinginan Sheryl untuk tak memiliki ibu tiri sudah tercapai. Dan lega karena kini, Ralph sedikit demi sedikit bisa mengungkapkan perasaan yang menderanya, karena gadis di sampingnya itu.
“Jadi, sekarang aku boleh bilang, nih?” minta izin.
Sheryl tak begitu jelas mendengar. Dia meminta Ralph mengulainginya sekali lagi. Sifat keingin tahuannya mulai muncul lagi di benakknya.
“Nggak, nggak bilang apa-apa. Aku cuma bercanda, aja.”
”Ralph, ayo bilang aja!”

Keduanya kejar-kejaran di pantai.
“Ralphhh!!!” sepercik air laut membasahi wajahnya.
Pemuda itu tersenyum. Dan bersiap membalas. Dengan ayunan tangan yang penuh dengan birunya air, dia sudah berhasil membasahi seluruh baju yang Sheryl pakai. Membuatnya harus sesekali memeras-meras ujung bajunya yang basah kuyup.
“Kamuuu….curanggg…., dehhh!” teriak sekeras mungkin.
Dia melangkahkan kakinya ke belakang. Berusaha menghindari cipratan air yang terus mengenai badan Sheryl. Tapi…..
“Hey, awas Sher!” pekik Ralph.
Sheryl tak tahu apa yang terjadi. Setelah sadar dari kekagetanya, dia sudah terduduk di genangan air laut. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Dia memandang Ralph dan tersenyum masam melihatnya memalang tangan dan menggeleng-gelengkan kepala. Sebuah bola karet mengambang di depannya. Dia baru tahu, kalau dia telah jatuh terjengkang karena sebuah bola karet.
“Ayo cepat bangun!” Ralph mengulurkan tangannya. Senang hati dia menyambutnya.
“Makasih, lho.”
“Makanya hati-hati, dong!” membelai rambut Sheryl yang basah.
Tapi, tiba-tiba tangan Ralph ditarik. Dia jadi ikut jatuh. Seluruh badannya basah kuyup seperti Sheryl.
”Hmmm, makasih ya Sher?” katanya sebal.
Mereka mulai permainan aneh mereka lagi.
”Istirahat, yuk!”
Keduanya berjalan ke arah pantai. Dan duduk di pasir putih.
“Capeknya…..,” gerutu Ralph.
Sheryl memandangi Ralph. Ingin sekali mendengar pengakuan Ralph tenteng perasaanya.
“Ralph?!”
“Ehm?”
Mata Sheryl melihat arah lain, “Kamu kelihatanya pingin ngomong sesuatu, deh.”
Sejenak Ralph kebingungan. Lalu tak lama mulai salah tingkah.
“Ngomong apa?”
Hati Sheryl mulai sebal lagi.
“Aku nggak suka Ralph, sama sikap kamu yang kayak nyembunyiin rahasia dari aku.”
“Lho, rahasia apa?”
Sheryl memandang Ralph kecewa. Lalu dia diam karena merasa paksaannya tak akan berpengaruh.
”Ya, udah kalau nggak nganggap teman lagi. Jujur, aku nggak terima kalau sikapmu kayak gitu terus sama aku. Aku nggak mau dibohongin lagi.”
Ralph sudah tahu maksud omongan Sheryl barusan. Ingin sekali dia bilang, tapi tak ingin membuat Sheryl merasa dimusuhi Jannet. Tapi, gadis itu terus saja menyudutkan.
“Ya, udah aku pergi aja!”
”Ehhhh? Cuma masalah perasaan aja.....” tiba-tiba tangan Ralph menutup mulut. ”Ops! Bukan apa-apa.”
Perhatian Sheryl tersita. Kata kuncinya sudah didapat. Buru-buru Sheryl ingin mendengar penjelasan dari Ralph.
“Perasaan?!” memperjelas. “Kenapa perasaanmu?”
“Nggak apa-apa. Tadi salah ngomong. Cuma masalah kecil aja kok, Sher. Nggak penting.”
Tak ada komentar lagi dari Sheryl. Gadis itu sudah capek memaksa. Ralph juga ikut membisu karena serba salah.
”Kenapa kamu nanya hal kayak gitu?” sergah Ralph.
Tanpa jawaban.
”Kenapa?”
Sheryl memalingkan wajahnya. Tangannya memeras-meras ujung baju yang masih basah. Ralph diacuhkan.
”Pasti Jannet udah ngomong yang bukan-bukan sama kamu, ya?”
Bibirnya terkatup rapat.
”Oke, aku hanya bisa bilang satu kata aja. Intinya semua masalah perasaanku sama kamu,” memecahkan masalah. ”Dengar! Hanya masalah kecil aja, kan?”
”Sejak kapan perasaan jadi masalah kecil? Aku baru dengar kali ini,” sahut Sheryl. ”Padahal menurutku, nggak ada seorangpun yang anggap masalah perasaan mereka adalah masalah kecil. Kecuali memang masalahnya kecil.”
Ralph diam.
”Ternyata masih nggak percaya sama aku, ya? Padahal selama ini aku udah percaya. Percuma aja aku percaya sama kamu, kalau kamu aja nggak percaya sama aku.”
Sheryl bangkit.
”Ya, udah kalau gitu. Nggak perlu kamu omongin,” Sheryl melihat Ralph yang tak bergeming.
“Daaa…..”
Lalu.
“Aku sayang kamu,” ahirnya kata itu terungkap. “Udah, jangan lagi nyudutin aku. Aku sayang kamu. Dengar nggak?!”
Gadis itu menghentikan langkahnya. Kalimat itu terdengar jelas di telingannya. Ahirnya Ralph bisa mengutarakannya langsung. Tanpa sembunyi-sembunyi.
”Aku......,” Sheryl berjalan kembali.
”Ssssttt, nggak perlu jawab sekarang,” sahut Ralph.
Dia tak ingin Sheryl melanjutkan bicaranya. Karena Ralph sudah tahu kalau cintanya tak akan terbalas. Dia cuma ingin sampai saat itu Sheryl hanya perlu tahu saja tanpa harus membalas semua pernyataanya bila belum bisa. Namun, hatinya dapat lega karena telah mampu mengungapkannya.
”Aku hanya ingin kamu tau aja, jadi.......”
”Ssssttt, “ gantian Sheryl. “Kenapa nggak dari dulu?” duduk di samping Ralph dan menyentuh bahunya.
Dia menjelaskan alasan memendam dalam perasaannya. Sheryl menghargainya setelah tahu kalau alasan itu demi kebaikannya sendiri. Ternyata Ralph memang mengerti dirinya lebih dari siapapun.
”Makasih, ya, udah merhatiin aku? Sebenarnya aku udah tau dari Jannet. Kamu suka sama aku,” bicara jujur. ”Tapi, aku hanya pingin dengar langsung dari kamu agar semuanya jelas.”
Ralph keheranan. Jadi, Sheryl sudah tahu?
“Ralph, bukannya aku nggak pingin balas perasaan kamu. Cuma, gimana dengan perasaan Jannet? Meski dia udah tau perasan kamu sama aku.”
Selalu begitu, masih memikirkan perasaan orang lain di atas perasaanya sendiri. Tapi, karena sikap itu Ralph kian menyukai Sheryl.
”Saat ini aku nggak tau harus ngomong apa sama Jannet. Tapi, menurutku dia juga udah ngertiin kita.”
Sheryl mengangguk. Keduannya membisu. Lalu Sheryl tersenyum memandangi Ralph. Membuatnya jadi salah tingkah.
“Nggak apa-apa?”
Mereka tertawa bersamaan. Lalu tiba-tiba tangan Ralph merengut tangan Sheryl di atas pasir putih.

Di tempat dia berdiri. Tak jauh dari sana.
Jannet sudah berdiri di belakang Sheryl, saat tanganya digenggam erat oleh Ralph.
Suara yang ditahanya menyeruak ke luar. Keduanya berbalik, masih dengan bergengaman tangan.
“Jannet!” sahut Sheryl kaget.
Jannet melihat keduanya. Sheryl menarik tangannya yang digenggam Ralph.
“Eh, emmm hai, Jannet!”
Tak ada ekspresi dari wajah Jannet. Dia berdiri dan tersenyum lega melihat kejadian tadi. Matanya berkaca-kaca. Lalu berbalik dan berlari meninggalkan keduanya yang masih duduk di pasir.
“Jannet!”
Sheryl ingin lari. Tapi, lengan Sheryl terasa dicengkram kuat. Dia berpaling.
Ralph memandangnya, “Biar aku aja yang ngejar.”
“Ralph….,” terlambat, Ralph sudah berlari mengejarnya.
Tinggal Sheryl tak bisa melakukan apa-apa. Ahirnya karena tak dapat kesempatan untuk mengejar Jannet, dia menjatuhkan dirinya ke pasir.
Di sekitar parkiran…..
“Jannet, Jannet! Tungguin!”
Pintu sebuah mobil Jeep telah dibanting dan tertutup.
“Ya? Ada apa, sih?” katanya sambil mengunci pintu mobil dari dalam dan hanya membuka kaca jendelanya sedikit.
Suaranya seolah dibuat seperti tak terjadi apa-apa.
“Aaa…aku bisa jelasin semua itu, kok. Dan nggak kayak yang kamu duga.”
Jannet berlagak mengingat-ingat kejadian yang tadi berlangsung. Hanya itu yang dapat dilakukannya agar air matanya tak keluar.
“Hey, itu kan urusan kalian,” mendorong bahu Ralph. “Memang apa hubunganya sama aku?”
Mesin mobil dihidupkan.
“Mau ke mana? Aku kan belum selesai ngomong….,”
Ralph memanggil-manggilnya dari luar. Sedang Jannet masih nekat menutup kaca jendelanya. Tak ada jawaban dari dalam.
“Jannet.”
Si gadis tak menyahut.
“Jannet Hamlyn!” pekik Ralph menggedor kaca mobil.
Dia yang di dalam, sudah tak tahan lagi dengan panggilan sahabatnya, membuka kaca jendelanya setengah.
“Selamat, ya? Ahirnya perasaan kamu terungkap juga.”
”Kamu dengar semuanya?”
”He’em, lagian aku juga udah ngomong sama Sheryl sebelumnya, kok.”
Pintu mobil dibuka. Lalu Jannet turun. Dia menangis.
Ralph kaget. Tak pernah dia melihat Jannet menangis selain di sekolah dasar dulu. Apa yang terjadi? Hal yang selalu dibenci oleh Jannet kini malah dilakukannya.
”Aku senang kok kalau kamu senang,” sembari memeluk sahabatnya. ”Sana! Sheryl udah nunggu.”
Senyuman yang dipaksakan tersungging di wajah Ralph.
”Makasih, ya?”
Jannet masuk ke mobil dan mengangguk.
”Daaa....”
Jannet memacu mobilnya ke luar area pantai.
”Kenapa? Aku takut kehilangan kamu. Tapi, perasaanku udah nggak penting lagi sekarang. Aku udah kalah dari Sheryl. Kalah!”
Mobil itu melaju cepat.
”Kalah!”

***


Meski kini Sheryl sudah tahu perasaan Ralph, tapi tetap saja hatinya tidak enak dengan Jannet.
“Gitu….?” duduk menopang dagu di kedua lututnya,
Ralph jadi tambah bingung.
“Aku bimbang!” sahut Sheryl. ”Masalahnya tambah rumit kalau gini terus.”
”Aku memang salah suka sama kamu.”
”Aku takut, Ralph, terus bikin sakit hati Jannet. Apa baiknya kita ahirin aja.”
Ralph tertegun. Diahiri? Padahal awalnya Ralph berpikiran setelah perasaanya terungkap, Sheryl tak lagi bersikap begitu. Tapi, ternyata dugaannya salah.
”Maaf, Sher, aku nyulitin kamu.”
Sheryl memandang Ralph, ”Aku bingung Ralph, bingung!”
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Ralph. Pemuda itu membisu, menyesali perkataannya kemarin.
”Sher, aku terserah aja sama kamu. Aku bisa nerima kalau kamu lebih mikirin hubungan orang lain dari pada hubungan kamu sama aku.”
Hati Sheryl masih bimbang.
”Sher, kalau omonganku kemarin malah bikin kamu nggak nyaman, aku rela kalau harus menariknya lagi. Jangan khawatir.”
Semua kalimat yang diterima oleh pendengarannya, terus membuatnya bingung.
”Jangan bikin aku tambah bingung, Ralph!”
Sheryl menahan kegelisahan hatinya. Dia menunduk, memeluk lututnya sembari terus menimbang-nimbang.
“Kenapa jadi panjang gini masalahnya?”
”Ralph, bantu aku!”
Tangan Ralph membelai rambut Sheryl.
“Dengar, ya?” mata Sheryl memperhatikan. “Semua keputusan ada di kamu. Terserah kamu mau milih aku atau Jannet. Aku percaya kok kamu bisa milih yang terbaik.”
”Tapi, Ralph?”
”Aku percaya sama kamu, akan aku terima apapun yang kamu putusin.”
Senyuman itu untuk menguatkan Sheryl.
Dia bangkit dan pergi meninggalkan ketidakpastian pada Sheryl. Sedang Sheryl masih bingung dengan apa yang harus dilakukanya. Apalagi Ralph telah lepas tangan dan tak mungkin lagi membantu memberinya jawaban.

***

Sudah beberapa hari setelah kejadian itu, Sheryl jarang ketemu Ralph. Ralph pun tak tahu ke mana. Yang pastinya dia tak lagi kelihatan di tempat biasa mereka main.
Sementara Ralph sendiri, merasa kalau dirinya sudah salah pada Jannet. Selama dia tak bertemu dengan Sheryl, sebagian waktunya hanya digunakan untuk bermalas-malasan di vila. Tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Yang pasti, dia merasa jadi seorang tersangka dalam masalahnya ini.
Dan Jannet. Mulai jarang kelihatan di depan mata Sheryl. Apalagi bertemu dengan Ralph. Entah apa yang terjadi padanya. Dia seperti hilang begitu saja setelah kejadian di parkiran itu. Tak ada yang tahu, kecuali teman dekatnya selain Ralph. Mungkin.

“Ralph?” karena tak tahan harus memutuskan sendiri, Sheryl menemui di tepian pantai.
Ralph berpaling dan tersenyum. Tapi, tak membalas sapaan Sheryl. Hal itu membuat Sheryl jadi serba salah. Haruskah memilih Ralph atau pergi darinya demi Jannet.
“Masih belum dapat, ya?”
Ralph sedang duduk memainkan bola Softball. Sementara Sheryl, berdiri dibelakangnya.
”Jangan ngomongin hal itu sekarang.”
”Maaf?”
”Nggak apa-apa,” mata Sheryl mengerling.”Aku lagi butuh teman ngobrol.”
Ralph mengabulakn permintaan Sheryl.
“Aku nggak mungkin bisa kehilangan kamu.”
Senyum mengembang di bibir Ralph. Tepat dengan apa yang diinginkannya. Sudah dinantikannya kata-kata Sheryl yang terahir.
“Aku nggak bisa kehilangan kamu, Ralph!”
Tangan itu, menggengam tangan putih di sampingnya.
“Aku juga!” katanya. “Tapi, kamu harus mutusin sendiri. Aku nggak bisa bantu.”

Siang berganti sore, sore berganti malam. Waktu berputar dan tak dapat terhenti, apalagi untuk kembali. Sebuah keinginan yang mustahil bagi seseorang yang menginginkannya. Termasuk Sheryl, yang menganggap seluruh masalah tak pantas untuk menimpanya.
“Kenapa nggak selesai? Aku capek!”
Tak ada hal yang dapat dikerjakan. Sheryl sedang duduk di karpet kamarnya dan bersandar di sisi tempat tidur. Memainkan boneka ‘Daddy’ nya.
Jam weker di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, sudah menunjuk pukul 03.44 dini hari. Tak ada niat untuk tidur. Kembali me-reject semua ingatan dan masalahnya, bila dia sebuah Taperecorder.
Sheryl sudah lelah.

Malam temaram. Langit luas saat itu menebar jutaan bintang, layaknya permata di kain hitam. Bulan terbentuk sempurna membuat cahayanya paling terang dan sempurna. Membuat bintang-bintang di sekitarnya satu per satu menjauh agar cahayanya tak dikalahkan oleh sang bulan.

***

Waktu berputar cepat. Sampai hari ini adalah hari terahir liburan musim panas mereka. Hanya tinggal seminggu lagi akan masuk musim berikutnya. Musim gugur.
Hari terahir digunakan dengan sebaik-baiknya. Sehari itu dipenuhi dengan berbagai permainan. Mereka tak ingin menyesal saat-saat terahir seperti itu. Soalnya, besok mereka harus segera kembali ke rumah dan menjalani aktivitas biasa mereka.
Terlihat setiap remaja bergerombol dengan yang lain melakukan permainan yang mereka inginkan. Termasuk Sheryl. Dia sedang berkumpul di dermaga bersama dengan teman-temannya. Terahir mereka baru saja turun dari Speedboat. Dan kini mereka sedang berboncengan naik Jet ski.
Sedang Ralph dan Jannet. Mereka tak terlihat bersama saat itu. Ralph berkumpul dengan teman laki-lakinya dan Jannet tak bersamanya. Mungkin bersama dengan teman-temannya yang lain. Tapi, sejauh pengetahuan Sheryl, mereka masih bertengkar.
Hiruk pikuk suara teriakan di pantai terdengar sampai agak jauh. Anak-anak remaja sedang tertawa riuh dan bersorak riang. Pantai yang luas dan berpasir putih itu, kini dipenuhi dengan manusia-manusia yang ingin menikmati ahir liburan mereka.
“Kamu sembarangan saja, ah! Hahaha…..,” tawa Sheryl ceria setelah mendengar lelucon kawan-kawannya.
Sepertinya masalah yang menderanya kemarin bisa sedikit terlupakan.
Mereka berlima termasuk Sheryl sedang duduk berjajar di tepian pantai.
“Benar, lho. Kamu tau sikapnya di sekolah nggak? Malu-maluin banget.”
Sepenggal cerita yang didengar beberapa orang di sekitar.
Mungkin karena sedikit kesal bercampur lucu mendengar cerita temannya, salah satu tangan Sheryl meraih air dan mencipratkannya ke arah mereka. Dan balasanya, Sheryl ditarik beramai-ramai dan didorong ke air.
“Hey, keterlaluan!”
Semuanya tertawa.
“Kamu benar-benar cantik, Sher. Kenapa di dunia ini ada malaikat secantik kamu, ya?” memandanginya jauh dari karamaian itu.
”Tapi, sayangnya aku harus nerima apapun yang kamu putusin. Dan andai keputusan itu pahit buat aku, terpaksa aku harus mundur.”
Ralph berdiri bersandar di papan yang ditancapkannya untuk di pasir. Dia masih melihat Sheryl yang main di pantai.
Siang hari dilalui dengan permainan-permainan seru.

Malamnya, diadakan pesta api unggun.
Dua buah api unggun besar dan api unggun-api unggun kecil di drum-drum yang dinyalakan di sekitar mereka, menambah terang malam gelap itu. Para remaja berkumpul mengelilingi api unggun. Meski beberapa ada yang duduk ngobrol memisah. Mereka yang ada di sekitar api unggun, sebagian sedang memanggang Marshmallow. Salah satu memetik gitar dan yang lain meniup harmonika. Terdengar alunan musik dengan beat-beat cepat yang mereka nanyikan mengalun seirama. Menambah ramainya suasana.
“Ini, buat kamu,” Ralph menyodorkan Marshmallow matang ke arah Sheryl, yang di sampingnya.
Raut wajah Sheryl senang, “Buat aku? Wow, makasih…..”
Semuanya mulai berteriak mendengar alunan musik berirama Regae yang ceria. Sebagian mulai menyanyi, sebagian lagi ada yang bertepuk tangan dan ada juga yang masih sibuk memanggang Marshmallow-nya. Sheryl mulai mengikuti alunan musik dengan suara dan tepuk tangannya.
“Asyik, ya?” berbisik ke telinga Ralph. “Nyenengin banget,” masih bertepuk tangan mengikuti alunan musik.
“Kayaknya lagi asyik, ya?”
Mengangguk, “Ini yang paling aku tungguin tiap liburan. Soalnya kita bisa main sama-sama dan senang-senang.”
Musik masih menagalun riang. Tapi, tiba-tiba irama musik berubah Slow dengan lagu romantis.
“Romantis.......”
Sheryl mengikuti alunan lagu romantis yang dipersembahkan oleh pementik gitar dan peniup harmonika. Matanya terpejam seperti mendalami lagu. Kedua tangannya bersatu menyangga dagu yang sebenarnya tak tertunduk. Saat itu suasana tak lagi ramai dengan sorakan. Malahan sebagian sedang tenang menikmati lagu-lagu yang dipersembahkan.
“Indah Ralph?”
“Iya,” memandang Sheryl.
Jannet tengah berdiri di tempat lain tak jauh dari sana. Dia melihat keduanya sedang asyik menikmati lagu. Bibirnya tersungging senyum. Tapi, hatinya sakit melihat pemandangan seperti itu, karena tak biasa. Dia berpaling dan menjauh.
Sheryl membuka matanya. Dia melihat hal aneh yang dilakukan teman-temannya.
“Eh, lihat lihat! Kok pada dansa, sih?”
Sebagian dari mereka sedang melakukannya dengan teman atau mungkin dengan pacar-pacar mereka. Musik masih mengalun pelan.
“Mau dansa?” Ralph mengulur tangannya.
Ralph menirukan gaya pangeran yang mengajak sang putri berdansa di tengah aula besar istana.
Sheryl jadi kaget dan malu, “Hmmm? Apa? Dansa?” mungkin wajahnya memerah.
Dengan yakin Ralph masih menunggunya.
Sheryl yang penasaran, ahirnya menerima uluran tangannya.
Mereka berdiri tak jauh dari kumpulan remaja-remaja. Ralph berdiri persis di depan gadis itu. Sheryl sedikit gugup, soalnya berdiri begitu dekat dengan Ralph yang bertubuh lebih tinggi dan tegap darinya.
“Maaf?”
Tangan Ralph melingar di pinggangnya dan meminta tangan Sheryl untuk digantungkan ke bahunya. Kegugupan benar-benar menyergap hati Sheryl. Tak tahu bagaimana dengan wajahnya saat itu. Memerah atau biasa saja. Sekarang tangan Sheryl mengantung di bahu Ralph. Keduanya mulai mengikuti alunan lagu dengan gerakan.
“Kamu cantik.”
Pujian itu membuat Sheryl tambah gugup dan serba salah. Mungkin saat itu wajahnya sudah benar-benar bersemu merah.
“Ahir liburan yang indah, kan?”
Sheryl membisu. Meski Ralph terus melontarkan kalimat-kalimat agar suasana saat itu tak bertambah kaku. Tapi, kenyataannya, malah terus menengelamkan si gadis dalam kegugupan.
Karena merasa obrolannya tak dapat meluluhkan suasana, Ralph membicarakan hal yang serius.
“Maafin aku kalau selama ini aku diam-diam suka sama kamu.”
“Nggak apa apa. Aku senang disukai orang.”
Sesudah obrolan itu, keduanaya lebih banyak diam. Mereka masih dansa karena lagu yang dialunkan sengaja terus diulang-ulang.
“Tapi, aku pingin tau satu hal,” Ralph memandang serius gadis dipelukannya itu. ”Kenapa kamu suka sama aku, Ralph?”
“Kamu…, aku nggak tau! Cuma hati ini pingin selalu ada di dekat kamu dan ngrasain kamu di dekat aku,” ceritanya. “Awalnya aku juga nggak tau kenapa. Tapi, setelah aku lihat kamu tiap hari, kayaknya rasa ini terus tumbuh.”
“Dan apa yang akan kamu lakuin, kalau misalnya gadis yang kamu cintai itu menolak karena ada orang ketiga yang nggak pingin dia sakiti?”
Secara tak langsung Sheryl mengungkapkan kegelisahanya.
“Aku…, aku akan tetap cinta sama dia, kok. Meski dia nggak cinta sama aku.”
Dari obrolan itu, keyakinan Sheryl mulai kuat tentang cinta Ralph yang begitu tulus untuknya.
“Sher, terserah kamu nilai aku apa. Tapi, aku sungguh sayang sama kamu,” Ralph berhenti.
Tangannya masih melingar di pinggang Sheryl. Matanya memandang Sheryl tajam. Membuat Sheryl jadi agak risih dengan sikapnya. Tangan Sheryl mengantung di lengan Ralph. Dia juga memandang Ralph yang begitu dekat saat itu. Salah satu tangan Ralph menyibakkan anak rambut di kening Sheryl. Tak tahu apa yang akan dilakukannya.
“Aku….,” terhenti karena Ralph memintanya untuk tak bicara.
Sampai sebuah kecupan lembut dan penuh sayang mendarat di keningnya. Terasa manis dan hangat. Mata Sheryl terpejam merasakan ketulusan cinta Ralph padanya. Dan tiba-tiba, Ralph melepas tangannya yang masih melingkar di pinggang Sheryl dan lalu meraih seluruh tubuhnya.
“Aku sayang kamu, Sher.”
Kata-kata itu sudah meluluhkan hati Sheryl. Dia tak bisa mengatakan apapun dengan sikap Ralph padanya. Pelukannya makin kuat. Dia terus membisikkan kata yang sama. Sheryl mulai yakin kalau Ralph benar-benar tulus menyayanginya.
Pemandangan itu membuat salah satu hati hancur berkeping-keping. Diam-diam dia melihat mereka dari kejauhan. Bersembunyi di balik kerumunan orang. Hatinya terasa perih seperti tertusuk pisau, tersayat, dan ahirnya remuk. Matanya mulai berkaca-kaca hingga ahirnya cairan bening di sudut matanya tak sadar menetes. Hati Jannet telah hancur.

***

Sheryl tersenyum mengingat kejadian tadi malam.
“Ralph, ternyata manis juga? Cinta! Cinta? Cinta…..”
Pagi-pagi sekali Sheryl jalan-jalan di dermaga. Masih sepi. Angin juga berhembus dingin. Hari itu adalah hari terahir mereka liburan di sana. Nanti siang mereka harus kembali.
“Rasanya kok berat ninggalin tempat ini.”

Gadis itu sudah selesai mengemasi barang-barangnya. Dia selesai lebih awal dan mengisi waktu yang tersisa dengan menjelajahi kamarnya yang sudah ditempatinya selama hampir 3 bulan.
Tangannya menarik pegangan laci. Ingin tahu apakah ada yang ketinggalan di sana.
“Eh, ini, kan?” memungut dari laci. “Bunga Matahari dari Ralph.”
Tangannya menarik tiga tangkai bunga Matahari yang sengaja di keringkan agar bisa awet.
“Sampai lupa kalau kutaruh di sini. Kubawa pulang aja, deh.”

Sekarang dia berdiri di tepian pantai sembari menjinjing koper bawaanya. Di sana, masih penuh dengan orang, selain dari SMU-nya.Soalnya hari itu mereka harus kembali ke rumah.
“Berat juga nih pergi dari sini.”
“Ya, nggak ikhlas dikit,” sahut Ralph yang datang tiba-tiba dari sampingnya.
“Eh, hai. Udah siap, ya?” melihat Ralph menggendong tas ransel hitam besar di punggungnya.
“Kamu juga udah, kan? Kita sama-sama ke tempat teman-teman berkumpul, yuk!”
Mereka berjalan beriringan. Dan tak sengaja bertatap muka dengan Jannet.
Wajah Jannet kelihatan pucat. Matanya merah. Sudah dapat Sheryl tebak, dia menangis. Pandangannya dingin dan terkesan acuh melihat mereka berdua bersama. Kemudian berlalu begitu saja. Sheryl yang ada di depan Ralph menghela napas.
“Ayo, Ralph! Nanti kita ketinggalan bus, lho.”
Ralph mengangguk setelah sejenak melihat Jannet dari jauh.

Lima belas menit kemudian mereka masuk ke bus masing-masing. Semua masuk ke bus yang diatur per kelas. Tentu saja Ralph sebus dengan Jannet. Tapi, mereka yang duduk bersama saat berangkat ke pantai, sekarang tak kelihatan sebangku lagi.
Sheryl duduk di sisi jendela bus.
“Nggak ada yang ketinggalan, kan?” ingat temannya.
“Nggak ada!”
Bus perlahan melaju pergi meninggalkan daerah pantai. Suara gemuruh ombak yang biasanya dia mainkan saat selancar masih terdengar. Namun, kian senyap seiring bus yang mulai menjauh.
Sheryl memandang hampa arah laut yang lama-lama menjauh, menjauh, dan kemudian menghilang tak terlihat lagi.
Mereka mulai meninggalkan pantai Dover.
Sedikit demi sedikit pemandangannya digantikan dengan gedung-gedung pencakar langit. Dia berpaling melihat suasana dalam busnya dan menghela napas lelah. Mereka telah lama keluar dari area pantai di pinggiran kota dan mulai memasuki pusat kota.

Bus memasuki halaman SMU setelah hampir sejam dalam perjalanan. Satu per satu mereka semua turun dari bus. Beberapa anak telah menghentikan taksi untuk kembali pulang ke rumah. Yang lain dijemput oleh sopir pribadi atau orang tua mereka. Sisanya masih duduk-duduk di taman sekolah atau masuk ke gedung sekolah entah ingin melakukan apa.
Sheryl turun terahir kali. Setelah mengamati sekeliling sekolah yang sudah tak ada sinar matahari hangat khas pantai, udara segar, pasir putih dan air laut, dia mulai berjalan ke arah gerbang sekolah.
“Hmmmm, tinggal nunggu pengumuman kelulusan dan nyari Universitas favorit,” mengumam malas.
Sheryl melihat Ralph turun dari bus, dan setelah beberapa orang, Jannet menyusul. Ralph tersenyum memandang Sheryl kemudian berpaling melihat Jannet di belakangnya. Sheryl hanya membalas dengan senyuman dan berjalan ke gerbang.
“Hai, Jannet!” sapa Ralph.
Jannet tersenyum. “Hai,” balasnya singkat dan berlalu.

Pelan-pelan dia memutar kunci pintu apartemannya. Dengan sedikit dorongan, pintu sudah terbuka. Dia berdiri mematung di ambang pintu tempat tinggalnya.
“Sampai…..”
Tak ada yang berubah dengan isi apartemannya. Semuanya masih kelihatan seperti dulu. Hanya debu-debu yang terlihat berterbangan dan menebal di semua perabot.
“Susahnya tinggal sendirian adalah nggak ada yang jaga kebersihan apartemanku selama aku pergi.”
Koper besarnya ditaruh di sudut ruangan. Dia menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruang tamu yang sedikit berdebu. Dia memutuskan untuk istirahat dulu sebelum mulai bersih-bersih.
Cukup lama istirahat sampai tenaganya pulih, Sheryl mulai membersihkan apartemannya. Dimulai dari ruang tamu.
Sejam kemudian…..
“Aduhhh!” mengusap peluh di keningnya. “Capek juga nih bersih-bersih rumah.”
Dia duduk di meja makan dapur. Di depannya segelas air putih dingin sudah habis direngguknya. Sejenak dia mengatur napas yang sedikit terengah-engah gara-gara pekerjaanya itu.

“Sudah lama aku nggak main ke sini, nih,” berdiri di gerbang taman kota yang penuh dengan pepohonan berdaun hampir kecoklatan, dan dikelilingi sebuah gedung tua yang artistik. “Taman kesukaanku.”
Dia berjalan di jalan setapak yang dibuat dari susunan bebatuan hitam. Tamannya tak begitu luas, namun selalu penuh dengan orang-orang yang sedang ingin bersantai atau piknik.
Di tengah taman sebuah kolam air mancur sederhana masih mengucurkan air. Pepohonan yang dulu berdaun hijau kini mulai menguning dan sudah ada yang kecoklatan karena musim hampir berganti. Di setiap sudut taman bangku-bangku disusun rapi berjajar. Dan tak jauh dari semua itu, di sudut ada taman bermain.
“Jadi ingat ayah dan ibu, deh,” tersenyum.
Tempat itu punya kenangan indah buat Sheryl. Kenangan tentang orang tuanya. Tempat itu, sejak Sheryl masih kecil selalu mereka gunakan untuk piknik, kemping, dan lainnya.
“Nggak ada yang berubah sejak waktu itu.”
Sudah jarang sekali Sheryl main ke sana setelah dia masuk SMU. Tapi, dulu saat dia masih SMP, sesekali masih sempat main ke sana meski hanya untuk mampir saja.

***

Aktivitas dimulai sekitar pukul 06.00. Sheryl harus bangun pagi, agar sempat mempersiapkan sekolahnya.
Sehabis sarapan Sheryl segera berangkat ke sekolah. Tapi, sebelumnya dia harus menanti bus sekolah di depan gedung apartemannya.

“Capek…..,” menutupi wajahnya dengan buku karena merasa pusing.
Dia sedang duduk di taman, setelah sebelumnya mengikuti apel di aula sekolah.
“Heyyy!” berteriak keras dan memukul bahu Sheryl. “Ngapain kok sendirian?”
Teman-teman sekelasnya datang lagi. Harus mengagetkan pula. Sheryl tersenyum, membalas sapaaan mereka. Setelah itu mereka menyerbu duduk di sampingnya, bahkan sampai harus di rerumputan hijau.
“Kamu mau cokelat? Atau es krim? Atau apa deh yang kamu pingin sekarang?” teman-temannya berebut menenyakan kesukaan Sheryl.
Ada sesuatu yang mereka ingin mereka minta. Sheryl dapat menebak kalau ada sesuatu yang mereka inginkan darinya. Biasanya mereka cuek dan acuh dengannya. Tapi, kok sekarang lain.
“Kalian pingin apa dari aku?”
Salah satu ingin menyahut, “Kami ingin kamu….”
“O, eits!” cegahnya. “Jangan bilang aku harus bantu kalian buat tugas yang belum kalian kerjain sama sekali, ya?”
Sebagian bergumam dan ngomel. Ribut di dekat telingannya, gara-gara keinginan mereka tertebak. Dasar anak-anak SMU.

Petang. Sheryl berjalan pulang setelah agak lama membantu teman-temannya mengerjakan tugas ahir. Lehernya terasa pegal. Ingin rasanya dia langsung tidur saat sampai rumah.
Dia berjalan di sepanjang jalan pertokoan yang panjang berjajar. Suasananya masih ramai dengan orang-orang. Toko-toko sebagian belum tutup, karena biasanya mereka akan menutup tokonya sekitar pukul 21.00. Mungkin ada beberapa yang akan buka 24 jam. Baru pukul 17.45, masih ada banyak waktu untuk main-main di sana sejenak.
Dia keluar membawa sekaleng softdrink yang baru saja dibelinya. Kakinya terus melangkah melewati bangunan dan gedung di sekelilingnya.
Matahari sudah benar-benar tenggelam di ufuk barat. Lampu-lampu jalan yang redup satu per satu mulai menyala untuk menerangi jalanan di bawahnya. Sheryl memandangi tempat matahari tenggelam. Membayangkan dirinya masih ada di pantai sore itu. Kakinya cepat melangkah dan menaiki tangga luar gedung apartemen.

***

Siang hari di kantin sekolah.
“Hai, yang lain pada ke mana, nih?” Ralph melihat sekeliling Sheryl.
Tak ada teman-teman Sheryl yang duduk di sana.
“Katanya mereka mau ngerjain tugas di kelas. Aku heran deh sama mereka, nggak biasanya nglakuin pekerjaan kayak gitu,” menaruh botol air mineral yang masih bersegel di depan Ralph.
Sheryl menekuni buku tulisnya lagi. Pena yang diggengam di tangan kananya, dipakai untuk memukul-mukul keningnya.
“Kamu nggak bisa ngerjain?”
Tak memperhatikan, “Bukan, aku dimintain bantuan ngerjain tugas ahir teman.”
Bukunya langsung ditutup. Penanya masih tergenggam di tangan kirinya.
“Eh,” Sheryl memperhatikan Ralph yang sedang mengematinya mengerjakan. “Gimana nih Jannet?”

“Nggak tahu, ah. Aku udah jarang ngobrol sama dia,” mereka berdua kini sedang berjalan di koridor sekolah.
“Kalian masih marahan? Dan kayaknya masih gara-gara aku, deh.”
“Memang kami masih marahan,” katanya. “Tapi, itu bukan karena kamu kok Sher. Aku yang salah.”
Sampai mereka tak menduga apa yang mereka lihat.
Jannet berdiri tak begitu jauh di depan mereka. Wajahnya tak berubah, sama seperti saat di pantai terahir. Tapi, sekarang kelihatan lebih pucat.
“Jannet!” tangan Sheryl melambai, padahal tadi mengengam sebuah kamus bahasa.
Jannet tersenyum, “Hai, gimana kabar kalian? Udah pacaran, ya?”
Sheryl dan Ralph saling berpandangan bingung. Mereka tak menyangka kalau Jannet akan bertanya hal seperti itu. Karena hubungan keduanya belum pasti.
Memang benar kalau Ralph sudah mengungkap perasaannya. Tapi, Sheryl belum mengatakan jawaban dan isi hatinya.
“Oooh, kita…,” gugup ingin mengatakan apa lalu melihat Ralphm, bingung.
Tapi, Ralph segera menyahut, “Kita udah pacaran, kok.”
Sheryl tersentak. Dia sekarang memandang Ralph keheranan dan lalu melihat Jannet yang sejak tadi menanti jawaban.
“Benar, kok! Ya kan, Sher?” ulangnya memperjelas dengan nada suara lemah.
Sikut Sheryl langsung menyodok perut Ralph, agar dia tak lagi mengatakan hal yang aneh-aneh. Ralph kelihatan memegangi perut menahan sakit.
Mereka diselamatkan oleh bunyi bel.
“Kalau gitu, selamat, ya? Moga bisa langgeng, deh,” doanya dan dia pergi.
Kedua pasang mata itu masih menguntit Jannet yang sudah menaiki tangga. Dia menghilang di balik tembok setelah sebelumnya tersenyum masam.
“Dia kayaknya lagi sakit. Apa yang udah terjadi sama dia?”
“Kemarin dari pantai dia udah kayak gitu, kan?”
Saat itu Ralph menyadari sesuatu. Sikapnya tadi, kemarin, kemarin lusa, dan beberapa minggu lalu, ternyata menyakitinya.
“Kamu nggak usah ngomong kayak gitu tadi. Kamu nggak lihat ekspresinya?” pinta Sheryl sopan. “Maaf, aku masuk kelas dulu. Daaa...”
Dia meninggalkan Ralph berdiri di koridor sekolah sendirian. Sejenak memandang Sheryl lalu masuk kelas, dia menaiki tangga ke lantai 2.

“Aku memang salah, ya? Aku seenaknya aja bilang gitu sama Jannet. Aku jadi kayak orang yang nggak punya hati nurani aja, deh,” gumam Ralph mencoret-coret buku catatan di depannya.
Pelajaran di depan tak lagi diperhatikan. Lagi pula gurunya juga tak akan tahu kalau dia sedang melamun. Soalnya dia duduk di barisan agak belakang.
“Jannet maafin aku? Tapi, aku benar-benar suka sama Sheryl. Karena tanpa dia, hari-hariku kosong,” matanya memandang Jannet yang pucat, duduk di barisan depan samping kananya.
Terdengar guru sedang menerangkan pelajaran Statistik.
“Meski ada kamu.”
Lalu terdengar panggilan dari sang guru.

Suasana sudah sepi. Sesekali suara-suara mobil melaju di jalan terdengar bergantian.
“Jannet, maafin kelakuan Ralph tadi, ya? Kami, kami nggak pacaran kok, sebenarnya….,” Sheryl duduk di bangku kayu di balkon apartemennya.
”Aduhhh....”
Langit mulai gelap. Angin berhembus dingin. Bunga-bunga di pot yang tergantung di pagar balkon bergoyang ditiup angin. Pohon di seberang jalan bergemerisik daunnya karena hal yang sama.
“Gimana, ya?” menyandarkan kepalanya ke tembok. “Sebenarnya, aku udah mulai suka sama Ralph. Dia baik, perhatian, dan cintanya tulus buat aku,” mengakui. “Tapi, setelah aku lihat wajah Jannet yang sedih kayak gitu, aku jadi nggak sanggup ngomong sama Ralph. Apa baiknya aku ngalah aja pada Jannet?”
Dia meringkuk memeluk kakinya erat. Sesekali menarik lengan suiter panjangnya, untuk menyembunyikan telapak tangannya yang terasa dingin. Dia masih berpikir.
“Aku harus gimana, nih? Aku sayang Ralph, tapi aku nggak tega lihat Jannet menderita gara-gara aku…..”
Mungkin takkan berahir dengan mudah.

***

Minggu ini, minggu terahir musim panas. Akitivitas mulai memadat seperti dulu-dulu. Siswa-siswa kelas tiga harus menamti pengumuman kelulusan mereka, setelah sebelumnya menempuh ujian yang berat. Kini yang ada, mereka harus mempersiapkan tugas ahir untuk nilai rapor. Agar mereka lulus dan bisa melanjutkan ke Universitas favorit.
Cuaca di luar sedikit demi sedikit mulai berubah. Hangat sinar matahari mulai terkalahkan dengan dinginnya angin musim gugur. Semua orang mulai sering memakai mantel dan sepatu boat agar terhidar dari dinginnya hawa.
Pohon dan bunga mulai kering dan mulai berguguran satu-satu. Sebagian taman dan halaman rumah-rumah sudah dipenuhi guguran daun yang berwarana coklat, kuning, dan merah.

***

Sheryl berjalan di depan Gym. Di dalam terdengar suara-suara orang bermain basket. Dia ingin memeriksa atau sekedar nonton saja.
“Sheryl, hai?” sapa dari deretan tempat duduk penonton.
Jannet melambaikan tangan. Wajahnya sudah kelihatan agak lebih mending dari kemarin.
“Eh, udah baikan, ya? Tapi, kok sendirian, sih? Lagi ngapain?”
Dia tersenyum, “Maafin aku selama ini ya, Sher?”
“Lho, maaf? Buat apa, sih?”
“Nggak! Yang penting aku minta maaf aja sama kamu,.”
Sheryl mengangguk. Jannet menghela napas, sedikit mengeliat kerena mungkin tubuhnya terasa pegal gara-gara mengerjakan tugas ahir.
“Musim panas berahir tiga hari lagi,” ucapnya memandang tengah lapangan. “Mmmm, ngomong-ngomong mau kuliah di mana, nih?”
“Nggak tahu, deh! Kalau aku sih yang penting bisa lulus dulu. Pinginnya ya masuk universitas favorit,” menyebut nama sebuah kampus terkenal di Inggris. “Pingin masuk fakultas Sastra. Kalau kamu?”
“Hmmm, di Universitas mana aja aku bisa kuliah, kok. Yang penting fakultas Sains,” harapnya. “Kalau bisa sih aku pingin kuliah di Universitas favorit juga,” kampus di luar kota.
“Nggak kerasa deh kita akan lulus SMU,” lanjut Sheryl. ”Sayangnya, pasti jarang ketemu sama teman-teman, setelah kuliah nanti. Sebenarnya agak berat juga ya ninggalin mereka,” ujar Sheryl dengan wajah agak lesu.
Terdengar tawa kecil dari Jannet. Memang wajar. Harus meninggalkan teman-teman untuk meraih cita-cita. Tapi, mau bagaimana lagi, semua harus dilakukan untuk melanjutkan hidup
”Maafin Ralph kemarin, ya? Dia bohong tentang hubungan kami. Kami nggak pacaran. Kami masih temanan,” Sheryl tertunduk dan meremas tas selempang di pangkuannya.
”Kamu sepertinya udah mulai suka sama dia, deh?” tersenyum bijak. ”Nggak apa-apa, kamu berhak suka sama siapa aja. Lagian Ralph bukan boneka yang bisa selalu kuperintah untuk ini, untuk itu, kan? Jadi sekarang ini, aku nyoba lupain masalah kemarin,” lanjutnya. ”Biarin aja Ralph milih jalannya sendiri. Nggak tergantung sama aku.”
Setelah mendengar omongan Jannet, Sheryl sadar kalau Jannet mungkin memang benar-benar ingin melupakan semuanya. Wajahnya yang beberapa hari terahir kelihatan pucat dan selalu murung, kini tampak lebih segar.
”Kamu belum njawab pertanyaanku, kan?”
Sheryl tersipu malu, ”Aku.......”
Tiba-tiba sebuah hentakkan tangan di bahu Sheryl melayang mengangetkan lamunanya.
”Nggak apa-apa, kok!” katanya. ”Lagian Ralph itu cakep, baik pula. Cocok buat kamu, deh,” berbisik.
Kedua gadis remaja itu tertawa berbarengan membicarakan pemuda. Sampai-sampai beberapa pemain basket yang sedang melakukan latihan pertandingan, bersamaan memperhatikan. Keduanya menutup mulut dan meminta mereka tak menghiraukan.
“Jannet? Makasih.....”

Dia melihat Jannet. Sedang duduk di tangga depan perpustakaan. Membaca buku dan sesaat mengambil sebuah notes dan mulai mencoret-coret lembaran kertasanya. Dia menghampiri.
“Boleh nggak aku duduk?”
Jannet mendongakkan kepalanya, ingin lihat siapa yang datang.
“Lho, Ralph? Nggak biasanya, nih. Sheryl-nya mana? Udah dari pagi aku nggak lihat?” pertanyaan-pertanyaan terlontar langsung dan bertubi-tubi.
“Punya waktu, kan? Boleh ngobrol bentar?”
Wajah Jannet tampak ragu, “Oke.”

***

Sinar hangat mentari, dedaunan hijau, bunga-bunga warna-warni, dan sorak sorai anak-anak kecil yang bermain di taman kota menikmati angin sepoi musim panas. Berahir di hari dingin, musim gugur itu.
Hari terahir musim panas, terkesan sunyi dan sepi. Orang-orang menyambut senang musim gugur, layaknya saat ahir musim semi tiga bulan lalu. Meski begitu waktu akan terus bergulir dan akan terulang lagi tahun depan.
Gadis itu sedang berjalan di jalan setapak beraspal yang menuju gedung utama SMU-nya. Mantel krem menutupi tubuhnya yang ideal sampai lutut. Syal berwarna senada membalut lehernya yang jenjang. Sepatu boat hitam terdengar berdetak saat kakinya berpijak di bumi. Sementara, kedua tangannya memeluk beberapa kamus dan ensiklopedi yang terasa sangat berat di tangannya.
”Hai, Ralph? Pagi. Lumayan dingin, ya?” suaranya lembut mengalun.
Teman bicaranya membalas dengan pernyataan yang sama.
”Hari terahir yang biasa aja. Nggak ada yang asyik.”
”Kalau menurutku ada yang beda hari ini,” meragukan. ”Lebih dingin dibanding tiga bulan lalu.”
Langkah kaki kedua remaja itu tak terdengar karena suara ramai koridor ruangan.

”Tadi malam aku udah mutusin,” gumam Sheryl duduk di bangku kelasnya. ”Ternyata sulit juga jauh dari dia. Dia yang terbaik buat aku. Dan aku yakin itu.”
Mata Sheryl memandang ke luar jendela yang menghadap ke halaman luas sekolahnya, yang kini penuh dengan guguran daun coklat.
”Aku udah mutusin akan sama dia. Aku udah nggak sanggup mbohongin hatiku sendiri,” lanjutnya. ”Ralph, kayaknya akan berahir dengan baik.”

Istirahat siang pukul 13.15, Ralph berjalan ke arah kantin sekolah. Tangannya mendorong pintu besar yang membatasi kantin dengan koridor panjang gedung. Ramai, penuh dengan anak-anak yang sibuk dengan sendok, piring, dan gelas mereka. Matanya terus meneliti seluruh ruangan. Di salah satu meja terlihat gadis yang dari tadi dicarinya sedang melahap sebuah roti isi.
“Sher, aku pingin ngomong bentar, boleh?” pinta Ralph.
Gadis yang dihadapinya sedikit bingung. Sheryl memperhatikannya serius.
“Nanti sore ada waktu, kan?” tanyanya. “Aku pingin ngajak jalan-jalan. Mau?”
Suara gaduh deheman, dan batuk-batuk olokan terdengar dari kanan kiri meja itu. Semua mata tertuju ke arah mereka berdua.
”Nanti sore? Kebetulan aku nggak ada acara.”
”Aku tunggu di taman, ya?” tersenyum senang.
Ralph berjalan ke arah pintu lagi. Berbalik dan tersenyum pada Sheryl. Lalu menarik pintu di hadapannya dan menghilang.
“Hey, hey, hey! Dengar nggak, tadi? Sheryl diajak kencan tuuh….!”
Senyum simpul tersungging di bibir tipis Sheryl yang berwarna merah jambu dengan lip gloss.

Sekolah sudah bubar. Dering bel tanda berahirnya pelajaran sudah terdengar sejak tadi. Sheryl sedang sibuk mengacak-acak lokernya dan segera menutup dan menguncinya.
“Harus segera ke taman, nih. Jangan sampai Ralph kelamaan nunggu,” gumamnya khawatir.
Dia berlari ke arah gerbang sekolah yang letaknya agak jauh dari gedung. Sejenak menengok kanan-kiri, dia berjalan di zebra cross untuk sampai ke seberang. Kakinya terus melangkah ke arah taman yang hanya beberapa blok dari sekolahnya.
”Ralph, hari ini aku akan ungkapin perasaanku sama kamu. Maafin aku kalau udah buat kamu lama nunggu. Sekarang kamu nggak perlu lagi lelah nunggu jawaban dari aku,” Sheryl tersenyum senang. ”Karena aku juga sayang sama kamu.”
Kakinya cepat melangkah, menyusuri trotoar jalan. Sejenak menyapa beberapa kenalan yang kebetulan bertemu di jalan dengan senyuman. Hatinya terus berdebar menanti-nanti untuk cepat sampai ke taman.
”Hmmm, angin musim dingin yang segar,” mendongakkan wajahnya ke arah langit yang saat itu berwarna biru bercampur oranye.
Sudah mulai sore, Sheryl mempercepat jalannya, agar cepat pula sampai di taman dan bertemu Ralph.

“Hai, maaf ya lama nunggu,” sesalnya.
Ralph yang duduk di sebuah bangku taman dekat air mancur, bangkit menyambut Sheryl datang.
“Ah, nggak apa-apa, kok. Duduk, yuk!”
Sheryl mengikutinya.
”Apa ada sesuatu yang pingin diomongin? Soalnya tadi siang kelihatan serius banget. Apa ada masalah?”
Ralph tersenyum memandang Sheryl, yang sejak tadi juga serius memandanginya. Tak ada balasan dari Ralph.
Matahari musim panas terahir masih bersinar di barat kota indah itu. Dan juga masih menyinari bangku kedua pasangan remaja itu duduk. Gemericik air yang memancar dari patung angsa putih yang tepat berada di puncak air mancur menambah kesegaran.
”Ada apa, sih? Kamu dari tadi kok diam aja?”
”Eh, gelangku masih kamu pakai, ya?”
Topik pembicaraan Ralph terasa aneh. Sheryl terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya Ralph maksudkan.
“Gelang ini?!”
Sheryl memandang gelang yang dia pakai di tangan kiri. Kenapa Ralph menanyakan gelang itu. Apa ada sesuatu yang Ralph inginkan darinya.
”Pasti dong! Memangnya kenapa, sih?”
”Aku cuma pingin bilang kalau....,” kata-katanya terbata.
Hati Sheryl berdetak kencang, menanti-nanti sepatah kata lagi yang akan keluar dari bibir Ralph. Tak biasanya Ralph bicara dengan nada seperti itu, kalau tak ada yang serius. Sesuatu sepertinya telah terjadi.
Sheryl menegaskan maksud Ralph. Tangannya menggantung di pundak Ralph, yang memandang lurus kolam air di depannya. Sheryl makin kawatir.
“Ada apa sih Ralph? Bilang aja. Kalau kamu gitu terus, aku nggak bakal ngerti apa masalahnya,” pinta Sheryl.
Helaan napas berat berhembus dari hidung mancung Ralph. Matanya kini melihat gadis, yang dari tadi terus memaksa untuk diberi tahu.
”Kamu mungkin nggak akan bisa ngerti. Karena ini masalah rumit.”
Terdengar cicit burung gereja yang bergerombol, bermain di kolam air mancur. Bercengkrama riang sembari saling mematuk. Tawa anak-anak yang bermain di kotak pasir tak jauh dari sana, terdengar ramai. Dedaunan masih berguguran dari pohon. Sesekali juga jatuh mengguguri Sheryl dan Ralph yang masih ada di sana.
“Ayolah, Ralph! Kalau kamu nggak bilang, aku nggak akan bisa ngerti masalahnya,” pintanya terus memohon.
Kali itu Ralph seperti telah siap untuk bicara. Berkali-kali dia harus mengubah posisi duduk dan menghela napas, agar jantungnya bisa berdetak normal. Dia duduk menghadap ke Sheryl.
”Sheryl....,” suaranya bergetar menyebutnya.
Mata Sheryl mengikuti semua gerak-gerik Ralph.
“Yaaaaa….?”
Tiba-tiba kedua tangan Sheryl direnggut dan digenggam. Wajah Ralph kelihatan pucat. Tapi, sepertinya terus dia paksakan agar tak Sheryl mengecewakannya.
“Sher, sebelumnya kamu harus janji dulu, ya?” pinta Ralph terlampau serius. “Kamu harus ngerti dan nggak akan marah sama keputusanku ini, janji?”
Ralph menyodorkan jari kelingkingnya untuk berjanji. Sekilas, Sheryl tahu kalau masalah itu sepertinya serius, didengar dari nada bicara Ralph. Sheryl agak ragu, tapi langsung menyambut tangan Ralph.
“Janji!”
Sheryl membalas ucapannya.
Angin berhembus perlahan menyibakkan rambutnya.
“Aku udah mutusin! Maaf? Aku udah nggak bisa lihat Jannet kayak gitu selamanya. Dan demi dia aku.........”
Sheryl tertegun mengamatinya. Menanti kalimat terahir.
”Aku......aku harus milih dia. Aku harus pergi sama dia.”
Waktu berhenti berdetak.
Jantung Sheryl juga berhenti berdetak. Suasana sunyi. Hanya deru angin yang terdengar di tempat itu. Suara daun gugur dan yang tertiup angin di lantai taman, terdengar jalas di telinga keduanya. Gemericik air juga masih belum hilang dari pendengaran mereka.
Waktu masih berhenti.
“Kenapa? Kenapa harus pergi? Bukannya kamu sayang sama aku?”
Suaranya lemah, bergetar, dan terbata. Matanya tak lepas dari mata Ralph yang nyata berada di depannya. Tak berkedip meski kadang angin menerpa keras. Sementara, cairan hangat mulai mengeburkan pandangannya.
”Jangan nagis, Sher!” jari telunjuk Ralph menghapus sudut matanya yang basah.
Sheryl megelengkan kepalanya untuk menyadarkan diri. Tangannya langsung ditarik dari genggaman Ralph. Posisi duduknya sedikit digeser. Dia tertunduk.
”Jangan nangis, Sher! Maafin aku, selama ini aku udah ngumbar janji sama kamu. Aku nyesal ngasih harapan kalau semua akan berahir indah. Tapi, cinta, sayang, kasih, suka yang aku beri sama kamu harus kuahiri sampai sini.”
Rambut Sheryl tergerai, menutupi wajah yang masih menunduk. Isak tangis kembali terdengar di sela-sela kebisuannya. Ralph terus memanggil. Tak ada sahutan, malah isakannya semakin pilu.
Tangan Ralph mengangkat dagu si gadis.
“Tapi, Sher! Semua yang aku beri sama kamu nggak ada yang palsu. Aku sungguh sayang sama kamu, sungguh. Bahkan aku udah janji kalau aku akan mencintaimu selamanya. Sungguh!”
Gadis itu sedikit tercekat. Tapi, lalu kembali menangis.
”Meski kamu nggak akan aku miliki, Sher.”
”Nggak akan kamu miliki?!” desah Sheryl memandang tajam mata Ralph. ”Tau nggak? Hari ini aku pingin bilang sama kamu kalau, aku juga sayang sama kamu!”
Ralph kaget. Ternyata dia tak tahu niat Sheryl datang dengan wajah berseri-seri. Dada Ralph terasa sesak. Ada penyesalan yang timbul di hatinya.
”Mau pergi?! Kayaknya perasaanku udah nggak penting lagi. Terserah…..”
Ralph diam
Keduanya membisu.
Angin berkesiur melambaikan dedaunan dan rambut sepunggung Sheryl. Matahari sudah tinggal setengah. Sinarnya tak lagi menyinari tempat duduk mereka. Semuanya serasa berhenti hidup.
Sheryl mengangkat wajahnya lagi. Pipinya basah dengan air mata. Dia cepat bangkit dan bermaksud pergi.
“Sheryl tunggu dulu! Maafin aku?”
Tubuh tegap itu sudah berdiri didepannya. Langkah kakinya terhenti.
“Maafin aku, ya? Aku nggak tahu. Tapi, aku nggak akan berhenti sayang sama kamu. Janji!”
Sheryl tersenyum meski air mata terus berlinangan, ”Tapi, kalau kita berdua nggak saling memiliki, apa gunannya?!”
“Bukannya cinta nggak harus saling memiliki?”
Sheryl berbisik, ”Tapi, bukannya lebih baik kalau saling memiliki?”
Ralph terdiam.
Sheryl sungguh-sungguh melihat secercah kegundahan hati Ralph.
“Pergi aja!” Sheryl melangkah mundur. “Temui Jannet. Pasti dia lagi nunggu kamu.”
Ahirnya demi persahabatan Sheryl harus mengalah.
”Tapi, Sher!” Ralph melangkah maju.
Tiba-tiba tangan Sheryl menyeka rambut Ralph, yang terkena guguran daun kering.
”Ralph, cinta memang nggak harus memiliki. Karena itu, pergi ke Jannet sana! Nggak apa-apa.”
Tangan Sheryl terhenti di pipi Ralph. Tak tahan dengan hatinya yang terasa perih, diluapkannya dengan air mata.
Jari Ralph menghapus tetesan air bening yang membekas di pipi gadis yang disayanginya. Sebuah senyuman untuk menyembunyikan kesakitan terlihat di sisi bibir merah jambu Sheryl. Semuanya tumpah, dia kembali tertunduk. Dia yang berdiri di hadapanya, kembali membantu wajah cantik itu untuk tetap menegandah.
Sheryl tersenyum.
“Kalau mau pergi…...., sebelumnya…….”
Gelang yang selama ini dipakai Sheryl, kini dengan berat hati harus dilepas. Dan dikembalikan ke Ralph. Tapi, pemuda itu menolak. Tangannya mencengkram, menghalangi. Sheryl memandang Ralph dengan tatapan sayu.
”Aku mau gelang ini jadi kenangan manis buat kita berdua. Kamu simpan, ya? Jaga dengan baik. Tolong?”
Gelengan memantapkan hati Sheryl, “Nggak! Benda ini cuma akan ngingatin aku sama orang yang harus nambah sakit hatiku lagi. Aku nggak mau kalau benda ini, ngingatin kisah ini.”
Mata pemuda itu mulai berkaca.
”Jadi kamu ingin nglupain aku, ya? Okelah, nggak apa-apa,” kata Ralph. ”Tapi, tolonglah! Simpan benda ini sebagai tanda persahabatan kita.”
Dengan perasaan yang sedikit berat, Sheryl mengambil kembali gelang itu.
”Jangan nangis lagi! Aku nggak pingin Sheryl-ku cengeng!”
Bahu Sheryl direnggut. Tubuh dan napasnya sesak. Tapi, sepertinya direlakannya demi dia.
“Selamat tinggal, cinta….”
Ciuman sayang mendarat di kening gadis itu untuk yang terahir. Lalu segera pergi meninggalkannya di sana.
Suara yang berbisik lembut dengan isak sakit hati yang sudah remuk. Gadis itu kini harus kehilangan lagi orang yang disayanginya. Setelah satu per satu pergi. Kini harus ada yang pergi lagi. Lagi…..
Kala itu semua dedaunan ikut bersedih dengan perasaan gadis yang kini telah patah hati. Satu per satu jatuh berguguran ke arahnya, berdiri melihat sahabat dan juga cintanya, pergi menembus dedaunan kering. Meninggalkannya sendiri.
Angin keras tiba-tiba berhembus menerpa apapun yang menghalangi. Matahari telah terbenam dalam. Tak ada lagi warna oranye di langit. Karena terganti dengan warna pekat langit hitam.
Daun masih gugur satu-satu. Sampai salah satu jatuh tepat di tangan gadis yang menggengam gelang berharga. Daun lebar berjari lima dengan bercak coklat bercampur merah dan oranye tepat jatuh di tangannya. Daun yang dulunya hijau kini harus menerima takdir untuk gugur dan jatuh ke tanah. Gadis itu memandang pilu daun dan gelang.
“Musim panas berahir, begitu juga ceritaku juga harus berahir demi persahabatan.”
Kakinya melangkah, menyusuri jalan berbatu hitam di antara rerumputan yang terpayungi. Meninggalkan taman yang telah redup dan senyap. Meninggalkan bangku taman yang tak akan pernah terlupa. Sebagai kenangan pahit dan hancurnya perasaan untuk terahir kali.
Angin terus menerpa pepohonan. Suaranya sendu. Seluruh permukaan tanah ditutupi oleh daun kering. Tertutup, dan akan terus tertutup sampai angin musim dingin menerbangkannya, dan tanah akan terselimuti salju.
Musim akan berganti dan waktu akan bergulir takkan kembali maupun berhenti.
Selamanya.
Tanggal 21 Maret.


.....The End.....